BeritaInspirasi

Kerja Sama dan Solidaritas Antar Warga dalam Gempa Lombok

Teks : Dedy Hermansyah, Foto : Fathul Rakhman

Senantiasa masih sangat terang dalam ingatan saya, pada Jumat, 10 Agustus silam, hanya berselang lima hari selepas gempa besar berskala 7 SR pada 5 Agustus yang meluluhlantakkan rumah-rumah dan menelan korban Jiwa di Kabupaten Lombok Utara. Saya bersama beberapa teman berkunjung ke Dusun Dasan Beleq di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, dalam rangka survey lokasi-lokasi yang kiranya belum mendapatkan akses bantuan. Sebagaimana kita tahu, di dusun itu tinggal satu komunitas atau masyarakat adat.

Segera setelah memarkir motor, saya langsung disambut pemandangan yang mengagumkan: sekolompok pria dewasa sedang bekerja membangun (kembali) tangga batu menuju pintu gerbang lingkungan rumah adat mereka. Kaum perempuan sedang berkumpul di berugaq dekat dapur umum. Hanya anak-anak yang asyik bermain dan membaca di depan rumah adat.

Dari obrolan bersama tokoh-tokoh adat dan anak-anak muda di sana, muncullah kisah saat gempa besar 7 SR. Rumah-rumah mereka ambruk. Ada yang luka-luka dari kejadian itu.

Namun, mereka tidak lantas tenggelam dalam ratapan. Mereka langsung mengorganisir diri, mewajibkan semua orang untuk bekerja bersama, tak boleh ada yang terpisah dari kelompok.

Saat itu, mereka sudah bermusyawarah menyangkut antisipasi untuk menghadapi kemungkinan buruk di masa datang. “Jika kondisi gempa ini terus berlanjut panjang, kami terpaksa menurunkan padi bulu sebagai kebutuhan pangan,” kata salah satu tokoh adat. Padahal, katanya, tidak sembarangan untuk menurunkan padi bulu tersebut, hanya di saat-saat paceklik saja.

perempuan di Gumantar memperbaiki rumah yang rusak

Memang untuk menuju ke dusun ini kita harus menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Sebab itulah barangkali mengapa bantuan logistic ke daerah ini masih sangat minim. Namun, masyarakat dusun ini tetap beraktifitas seperti biasa. Saya, bahkan sempat ngobrol dengan warga yang sedang memanen kacang, padahal mereka tengah berduka. “Ini sangu gempa, pak,” kata seorang ibu. Kali ini mereka memutuskan untuk tidak akan menjual kacang hasil panen, namun akan digunakan untuk bahan pangan.

Warga juga mengatakan, jika ke depan akan ada bantuan pembangunan rumah, mereka akan menolak jika konseponya adalah rumah permanen atau modern. “Kami tidak mau rumah permanen, kami ingin kembali membangun rumah seperti yang dulu-dulu sebagaimana leluhur kami membangun rumah,” tegas beberapa warga. Cuma memang aka nada perubahan-perubahan tertentu, tapi tidak prinsipil.

Sepulang dari Dusun Beleq tersebut, saya diruahi oleh perasaan kagum pada semangat warga di sana.

Dua hari kemudian, pada akhir pekan yakni Hari Minggu pagi yang cerah, 12 Agustus, saya bersama seorang teman bertandang ke satu daerah pesisir utara di Dusun Jambianom, Desa Medana, Kecamatan Tanjung.

Pada pagi itu, saya menyaksikan dua kapal putih perlahan bersandar di bibir pantai. Sekisar 40an pria berbaris menunggu. Ada beberapa yang menggeser dua perahu yang bersandar di garis pantai, memberi ruang bagi angkutan yang akan diturunkan dari dua kapal putih tadi.

warga Pulau Bungin mengirim bantuan lewat laut

Seorang pria berseragam dengan rompi biru meloncat dari salah satu kapal, langsung disambut oleh Sulaiman, Kepala Dusun (Kadus) Jambianom. “Pak Kadus, “kata pria berseragam itu, “kami membawa amanah dari masyarakat Pulau Bungin.” Ia lalu menyerahkan dua carik kertas untuk dibaca dan ditandatangani oleh Kadus.

Tak lama kemudian, seluruh muatan di atas dua kapal tersebut diangkut bersama-sama. Warga berbaris, bagai semut pekerja, mereka mengoper barang-barang tersebut dan ditaruh di atas sebuah berugaq dan di sekelilingnya. Kurang lebih satu jam seluruh angkutan tuntas diangkut. “Ini bantuan terbanyak yang pernah kami terima, “kata kepala dusun. “berasal dari saudara nelayan kami di Pulau Bungin,” sambungnya.

Ya, benar sekali. Saya melihat barang-barang berupa pakaian, makanan, minuman, dll, menumpuk menyesaki atas berugaq dan di sekitarnya. Warga Jambianom sangat bersuka cita menerima bantuan tersebut.

Kepala Dusun berkata, ia akan bekerja keras menyalurkan bantuan tersebut ke warganya. Warganya ada 220 KK, 880 jiwa. Semuanya sudah dikumpulkan di atas sebuah bukit, area yang sebetulnya diwakafkan untuk pekuburan. Tak ada yang berpencar. Semua sudah berkumpul di bukit.

Sampai saat ini warga mengaku belum bisa merencanakan apa-apa untuk memulihkan kondisi pasca gempa. Anak-anak muda yang sebagian besar bekerja di bidang pariwisata juga tak tahu kapan bisa bekerja lagi. Perahu dan kapal nelayan akan menganggur.

Dua peristiwa dan kisah di atas hanya segelintir dari berbagai peristiwa yang menyentuh lainnya yang saksikan langsung di lapangan selama saya menahbiskan diri sebagai relawan—yang sesungguhnya juga adalah korban, di mana saya harus meninggalkan rumah di Mataram dalam keadaan retak-retak.

Hal apa yang bisa saya petik sebagai pelajaran dari semua peristiwa itu? Setidaknya saya menangkap dua makna: kerja sama dan solidaritas para korban bencana. Bencana tidak lantas membuat mereka mutung dan berpangku tangan atau pasrah tanpa berbuat apa-apa. Dan, khusus untuk kisah kedua, mencerminkan bahwa sesama warga nelayan senantiasan akan saling membantu untuk meringankan beban hidup yang lain—meski, kenyataan yang menyedihkan terjadi seminggu kemudian, yakni pada 19 Agustus, Minggu malam, gempa besar di Lombok Timur turut dirasakan dan berdampak pada masyarakat Pulau Bungin. Pulau Bungin terbakar seusai gardu listrik roboh dan api kemudian menjalar membakar rumah-rumah di satu dusun.

warga Desa Beleq Gumantar di pengungsian

Perlu penanganan kebencanaan berbasis masyarakat

Selama menjadi relawan, saya bersama teman-teman yang lain fokus pada distribusi bantuan kepada warga, terkhusus yang berada di daerah-daerah pedalaman yang belum atau masih sangat sedikit tersentuh logistik. Ada banyak kisah menarik yang tak jarang memunculkan simpati dan rasa kagum, juga inspirasi, saat menyambangi daerah-daerah terpencil tersebut. Namun, entah mengapa yang berseliweran di media sosial justru adalah kekacauan, ketidakteraturan, mitos, isu pemurtadan, dan sebagainya. Yang paling banyak mengambil ruang perhatian salah satunya, menurut saya, adalah politisasi bencana.

Yang hilang dari perbincangan banyak orang adalah soal bagaimana warga mampu menangani dan berusaha keras mengatasi persoalannya sendiri—tentu dengan bantuan dari para relawan. Yang alpa didiskusikan adalah bagaimana pola pengorganisiran yang melibatkan warga, mengajak mereka bekerja dalam kelompok, dan senantiasa terkoordinir dengan baik.

Sepertinya dalam alam sadar banyak orang warga pengungsi dilihat semata sebagai objek korban yang tidak bisa berbuat apa-apa. Konsekwensi dari cara pandang ini adalah penanganan yang keliru di mana warga yang terkena dampak bencana diasupi bantuan demi bantuan. Pola penanganan seperti ini akan berakibat buruk di kemudian hari di mana warga atau korban bencana akan bergantung sepenuhnya kepada bantuan.

Kita kerap lupa bahwa masyarakat adalah satu komunitas, memiliki struktur, pola kerja sama, dan aturan sosialnya tersendiri. Ini yang lupa kita gali, lalu kita dorong mereka untuk memanfaatkan seluruh modal sosial yang mereka miliki tersebut. Kisah masyarakat adat yang saya udarkan di awal tulisan ini adalah salah satu contoh nyata tentang masyarakat yang memiliki kerja sama sosial yang tinggi. Mereka adalah sebenar-benarnya pengungsi tangguh.

relawan gabungan menyiapkan logistik

Jangan remehkan satu kelompok masyarakat. Mereka pasti menyimpan potensi atau modal sosial yang bisa dimanfaatkan untuk menanggulangi masalah dalam bencana. Pengalaman saya saat jadi fasilitator dalam program kebencanaan di Kabupaten Sinjai di Sulawesi Selatan pada 2006 membuktikan itu. Warga desa di sana ternyata, setelah digali melalui serangkaian diskusi, memiliki banyak pengetahuan lokal yang bisa membantu mereka mengenali alam, membaca fenomena perubahan ekologi, yang bisa didorong sebagai basis pengetahuan dalam mengurangi risiko bencana. Lalu dari sana kami kemudian mendorong terbentuknya satu kelompok masyarakat yang peduli pada bencana.

Selama menjadi fasilitator kebencanaan itu, saya mempelajari beberapa aspek dasar dalam upaya mengurangi risiko bencana: pertama, kita harus percaya pada kekuatan sendiri. Asumsinya adalah bahwa warga sebetulnya mampu berinisiatif, dapat diajak kerja sama dengan pemerintah untuk bersama-sama melaksanakan penanggulangan bencana. Kedua, perlu adanya keterlibatan rakyat sebagai dasar pelaksanaan. Dalam kaitan ini kita membayangkan bahwa sejak dari penyediaan informasi dini, tanggap darurat, hingga proses rekonstruksi, rakyat bisa berfungsi dengan baik. Dengan pengetahuan tradisional yang dimiliki warga, seperti yang saya singgung sebelum ini, seperti membaca fenomena alam, bisa menutupi proses transmisi informasi yang kadang mengalami keterlambatan. Ketiga, transformasi peran pemerintah. Pemerintah tetap menjadi pelaku utama yang berada di tengah-tengah penyelesaian bencana, didukung oleh berbagai lembaga masyarakat dan rakyat sendiri. Pemerintah sudah semestinya menjadi satu-satunya sandaran dan andalan bagi rakyat dalam setiap situasi bencana. Untuk itu, pemerintah tidak boleh memihak sekelompok kecil saja di dalam masyarakat.

Pusat perhatian dari semua upaya penanganan bencana seharusnya adalah manusia. Ya, saya ulangi lagi: MANUSIA. Siapa mereka? Yaitu mereka yang rentan. Mereka yang kiranya akan sangat berpotensi terkena dampak bencana. Untuk itu, yang perlu diperhitungkan adalah asas dan pendekatan. Asas yang harus dilakukan adalah peran serta murni masyarakat; selain itu, kita perlu mempertimbangkan otonomi lokal; berikutnya adalah kesetiakawanan warga; lalu kita juga perlu ada perlakukan khusus (kepada kelompok yang paling rentan—anak-anak, buruh tani, dan perempuan); dan yang tak kalah penting adalah keberlanjutan—kemandirian lokal yang bisa berlangsung dalam jangka panjang.

Semua itu akan berujung pada penciptaan satu masyarakat yang tanggap bencana. Masyarakat yang mengenal lingkungannya, mengenal potensi kebencanaan, mengelola setiap informasi terkait kebencanaan. Masyarakat yang—tanpa bermaksud mengharapkan bencana datang lagi—ketika menghadapi bencana akan mampu bertahan dan mengurangi risiko dan kondisi pasca bencananya. Saya teringat pada pernyataan seorang model yang selamat dari tsunami di Thailand, Petra Nemcova, pada 2004 silam: “Kita tidak bisa menghentikan bencana alam,tetapi kita bisa mempersenjatai diri dengan ilmu pengetahuan.”

Semoga bencana gempa yang telah kita alami dapat menguatkan kita, dan kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah darinya. Amien!  

selama sebulan kami lebih sering tidur bersama para penyintas
Previous post

Narasi Kekerasan Buruh Migran Perempuan  

Next post

Peresean ; Antara Ritual dan Hiburan

Mayung

Mayung

No Comment

Leave a reply