HumanioraTeaser

Menteri Susi Bikin Susah Nelayan

Pengantar

Tulisan ini adalah laporan khusus yang pernah terbit di harian Lombok Post pada akhir 2015. Saat itu kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang ekspor benih lobster menuai kontroversi dan mendapat penolakan kuat dari nelayan di NTB. Tulisan ini saya muat ulang di blog ini karena saat ini kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo juga menuai pro dan kontra.

___

Para nelayan pemburu lobster baru dua tahun menikmati gurihnya pengiriman bibit lobster ke Vietnam. Seumur-umur mereka menjadi nelayan, tahun 2013 itu menjadi tahun penuh rezeki. Mereka tiba-tiba bisa memiliki uang jutaan rupiah dalam seminggu. Hingga kemudian Presiden Jokowi melantik Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Sejak awal dilantik memantik kontroversi, hingga kemudian Menteri Susi mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/Permen-KP/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting ( Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus  spp.). Kini para nelayan penangkap lobster tak ubahnya seorang penjahat. Diawasi seperti buronan, hasil tangkapan disita bahkan dibuang, aparat menganggap mereka seperti penjahat berbahaya.

*******

BANJAR menghisap dalam rokok keretek di tangannya. Siang itu, nelayan Dusun Gerupuk, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah itu tidak melaut. Dia hanya duduk di berugak (gazebo) yang ada di pinggir laut. Matanya menerawang melihat keramba yang memenuhi perairan Gerupuk. Sesekali melintas wisatawan asing membawa papan surfing. Beberapa nelayan lokal mencari peruntungan memancing di pantai berpasir putih itu. Banjar, lelaki 40 tahun itu dilanda gulana.

Bulan ini, putrinya yang kuliah kebidanan di STIKES YARSI Mataram membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Putri pertamanya itu mau masuk semester V, tahun depan sudah sudah diwisuda. Banjar sudah menghitung biaya untuk tahun terakhir kuliah putrinya itu tidaklah sedikit. Apalagi bagi Banjar yang mengandalkan hidup dari hasil laut. Tidak pernah pasti. Banjar hanya memiliki dua buah keramba jaring apung (KJA). Tidak cukup untuk membiayai empat orang anaknya. Satu orang bersekolah di SMK, satu orang SMP, yang bungsu sekolah di SD. Si Sulung membutuhkan biaya kuliah tidak sedikit, termasuk biaya hidup di perantauan.

Nelayan yang hanya tamatan SD ini tidak ingin anak-anaknya meneruskan jalan hidupnya sebagai nelayan miskin. Terpanggang matahari di laut lepas, berselimut udara malam saat mencari ikan. Belum lagi risiko ketika cuaca buruk. Cukup dirinya yang menjadi nelayan, anak-anaknya disiapkan agar kehidupan mereka lebih baik. Caranya menyekolahkan mereka. Banjar, nelayan dari kampung terpencil di pesisir selatan Lombok Tengah itu berani menguliahkan anaknya.

“Sekarang saya lagi pusing memikirkan biaya anak-anak,’’ kata Banjar membuka obrolan ditemani kopi dan beberapa nelayan Gerupuk.

seorang nelayan menunjukkan lobster di tempat penangkaran miliknya.

Banjar adalah salah satu nelayan yang menikmati booming bibit lobster. Sepanjang tahun 2013 adalah tahun penuh senyum bagi keluarganya. Tahun ketika para nelayan Gerupuk membuka jaringan penjualan bibit lobster ke Vietnam. Bibit lobster yang masih berwarna putih, yang ukurannya masih di bawah 8 cm itu diminati pasar Vietman. Satu ekor awalnya dijual Rp 10 ribu, naik menjadi Rp 15 ribu, terakhir menembus Rp 25 ribu. Banjar yang tanggung di lautan pun kemudian rutin berburu bibit lobster. Dalam sehari dia bisa mengumpulkan hingga 200 ekor. Sering lebih. Setiap hari. 30 hari dalam sebulan. Paling sedikit dalam sehari dia mendapatkan Rp 300 ribu. Tanpa modal. Bermodal perahu kecil, Banjar mendayung ke dekat kerambanya, lalu menangkap bibit-bibit itu.

“Tumben kami melihat uang begitu besar dari lobster. Tapi ya itu, sebelum ada Permen Susi,’’ kata Banjar.

Begitu anaknya meminta kuliah di Mataram, Banjar langsung mengiyakan. Dia yakin selama air laut masih biru, bibit lobster tidak akan pernah hilang. Malahan setiap hari, nelayan di Gerupuk mulai berinovasi agar mendapatkan lebih banyak tangkapan. Mereka membuat alat tangkap bibit lobster yang dinamakan “pocong”. Alat sederhana yang dibuat warga setempat. Memanfaatkan barang bekas, karung semen. Nelayan juga mulai mengisi keramba mereka dengan induk lobster. Di sekitar keramba itu biasanya banyak bibit lobster. Niatnya, bibit lobster akan dijual ke Vietnam. Makin lama, nelayan Gerupuk tahu cara mencari uang dari lobster.

Abin alias Amaq Yani juga melirik bisnis bibit lobster itu. Awalnya dia menangkap bibit lobster untuk dipelihara di keramba. Melihat hasil yang besar, dan cepat dari menjual bibit lobster, Amaq Yani menjadi pengepul kecil. Dia membeli dari nelayan setempat, lalu menjual ke pengepul yang lebih besar.

“Sejak tahun 2002 saya sudah nangkap bibit, tapi untuk dipelihara di keramba,’’ kata pria 38 tahun ini.

Amaq Yani masih ingat, kali pertama menjual/membeli bibit lobster harganya Rp 1.000 per ekor. Kadang Rp 500 per ekor. Itu jauh sebelum pasar dengan Vietnam, dan negara-negara ASEAN terbuka. Kali pertama merasakan berkah penjualan bibit lobster tahun 2013, setelah nelayan dari Awang, Desa Mertak, Hamid diajak studi banding ke Vietnam tahun 2013. Di negara itu, nelayan dari Indonesia diperlihatkan budidaya lobster. Dalam pembicaraan dengan pihak Vietnam, mereka tertarik untuk berbagai ilmu dan keinginan untuk berkunjung ke Gerupuk.

Tim dari Vietnam, termasuk pemerintah pusat turun ke Gerupuk. Dari pihak Vietnam langsung sepakat untuk menjalin kerja sama. Mereka mau membeli bibit lobster nelayan. Harga yan ditawarkan saat itu Rp 5 ribu. Bagi Hamid dan nelayan di Gerupuk dan Awang, harga itu cukup besar. Bibit lobster mudah mereka dapatkan. Tidak membutuhkan modal banyak. Harga itu juga jauh lebih tinggi dibandingkan pasar lokal.

Harga yang tinggi itu membuat nelayan lainnya berburu bibit lobster. Permintaan makin banyak. Harga naik. Harga satu ekor menjadi Rp 10 ribu, dan terakhir menembus harga Rp 25 ribu. Ketika para nelayan ini panen duit, keluarlah aturan dari Menteri Susi itu. Para nelayan awalnya tidak tahu keberadaan aturan itu. Pernah mendengar tapi tidak terlalu peduli. Mereka mulai sadar jika aturan menteri yang memiliki tato di kakinya itu “mencekik” mereka. Tak sekadar dilarang. Barang mereka juga disita, dibuang kembali ke laut. Dan mereka mulai kembali menjadi nelayan miskin.

“Sebelum ada Permen itu, setiap hari kami panen. Sekarang tidak berani lagi,’’ kata nelayan lainnya H Wahid, 52 tahun.

H Wahid termasuk salah seorang pengepul. Dia memiliki 25 KJA. Dia memiliki rekanan hingga Pulau Sumbawa. Salah satu rekannya itulah yang pernah ditangkap ketika membawa bibit lobster yang rencananya akan dibawa ke Lombok Tengah. Bibit lobster itu disita oleh aparat, tapi tidak jelas kemana bibit itu. Apakah disita lalu dilepas ke alam, atau entah dikemanakan.

“Kalau mau menteri mau beli keramba, kami jual. Toh tidak ada hasilnya,’’ keluhnya.

Keluhan serupa juga disampaikan nelayan Teluk Awang, sekitar 10 km dari Gerupuk, ke arah timur. Jumlah kelompok petani lobster di tempat itu sebanyak 27, terdiri dari ribuan anggota dan keramba jaring. Mereka dari warga Dusun Awang Kebun, Awang Asam, hingga Desa Bilelando dan Kidang serta sebagian warga Gerupuk Desa Sengkol dan Lombok Timur (Lotim). Seiring perkembangan waktu, jumlah mereka menyusut dan beralih berbagai macam profesi.

“Dulu seberapa besar lobster bisa kita jual. Sekarang tidak bisa. Kebijakan pemerintah secara langsung mencekik kami dan membuat kami miskin,” kata Kepala Dusun (Kadus) Awang Balak Waknapise.

Diakuinya, tidak satu dua KK yang mengalami hal yang sama dengan dirinya. Tapi, mayoritas warganya di Dusun Awang Balak. Termasuk dusun dan desa tetangga lainnya.

“Anak saya kelas II SMA Muhammadiyah Mataram, terpaksa saya stop sekolahnya karena tidak ada biaya,” keluhnya.

Kondisi saat ini, ungkap Waknapise cukup untuk kebutuhan makan minum setiap hari. Itu pun dibatasi dua kali saja. Sebaliknya, jika tidak ada pendapatan tambahan atau uang lebih, cukup sekali bahkan harus berpuasa.

“Dalam sehari, kami bisa menangkap bibit lobster sebanyak 200-300 bibit,” kata Ketua Asosiasi Petani Lobster Loteng Oseng.

Jika 200 bibit itu dikalikan Rp 20 ribu saja, terang Oseng maka setiap harinya petani lobster mengantongi keuntungan Rp 4 juta. Itu pun alat tangkap yang terbuat dari keramba bambu atau kayu hanya satu titik. Di tempatnya itu, rata-rata petani lobster memiliki keramba paling sedikit empat titik, terbanyak enam. Jika dikalikan, maka bisa puluhan juga setiap harinya.

Sebaliknya, kata Oseng setelah larangan penjualan bibit diberlakukan, petani harus menunggu 7-8 bulan untuk panen lobster.

“Selama masa tenggang beberapa bulan panen, lalu kami makan apa. Sungguh keterlaluan pemerintah ini,” keluhnya.

pocong, alat penangkap bibit lobster yang dibuat para nelayan Lombok

Nasib serupa juga dialami para nelayan di Desa Puyahang, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. Salah satunya Supardi. Selama ini dia mengandalkan pendapatan dari menangkap lobster. Dari hasil menjaring lobster, dia bisa menghidupi istri dan anaknya. Bahkan, penghasilan menangkap lobster bisa membantu anaknya sekolah.

”Sejak larangan itu, saya tidak lagi menangkap lobster,” tuturnya.

Supardi sudah bertahun-tahun menjadi nelayan penangkap lobster. Dari tangkapan itulah dirinya bisa meraup rupiah untuk menunjang kebutuhan sehari-sehari. Tapi, ketika ada larangan keluar, dirinya dibuat pusing.

Ia tidak lagi berani menangkap lobster. Alasannya, sanksi yang bakal diterimanya bisa berujung ke penjara. Untuk itu, Supardi memilih berdiam diri sambil mencari pekerjaan lain.

”Cari pekerjaan alternatif lain saja,” aku dia.

Meski ada larangan itu bukan berarti Supardi melupakan laut. Dia tetap pergi mencari berkah di tengah laut. Tapi, tidak seperti biasanya mencari lobster. Kini, ia hanya menjaring ikan-ikan saja.

”Kalaupun ada lobster yang terjaring, saya lepas lagi. Terutama yang kecil dan sedang bertelur,” bebernya.

Dulunya, kata dia, sebelum ada pelarangan, dirinya sangat bersemangat mencari lobster. Ia pergi mencari lobster hingga Labuan Poh, Sekotong. Hasil tangkapannya lumayan banyak. Sehari semalam, dia membawa pulang puluhan ons lobster.

”Saya bisa dapat banyak kalau cari sampai ke perairan Sekotong. Kebutuhan dapur juga selalu tercukupi,” akunya.

Larangan menangkap lobster bagi Supardi layaknya monster. Nelayan dicekik sumber pendapatannya. Padahal, melalui tangkapan itu, dirinya bisa menambah pundi-pundi rupiah dari bawah laut.

”Sebelum ada larangan, kami juga tidak pernah ambil yang kecil. Kami juga sadar,” akunya.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Supardi tidak hanya mengandalkan pendapatan dari nelayan. Ia terpaksa menjadi buruh harian lepas di Pelabuhan Lembar. pekerjaan buruh itu sudah dijalani beberapa bulan, atau pascakeluarnya larangan menangkap lobster.

”Sekarang saya bekerja di Pelabuhan Lembar. Jadi buruh,” akunya.

Sementara, nelayan di Dusun Pujat Ngering, Darwisah mengaku sudah puluhan tahun menjadi nelayan. Selama ini dia menggantungkan hidup dari berburu binatang laut di karang ini. Adanya larangan menangkap lobster sudah pasti ditolak.

”Jika larangan ini tetap dilanjutkan, itu sama saja membunuh mata pencarian kami sebagai nelayan,” katanya saat memperbaiki jaring ikan.

Sebagai nelayan yang sudah karatan mencari lobster, Darwisah meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan meninjau kembali aturan yang diterapkan. Misalnya, soal penangkapan hasil laut, seperti lobster dan kepiting. Sebab, jika itu diterapkan sangat merugikan nelayan.

”Kami minta ditiadakan saja. Yang dirugikan disini adalah nelayan,” tegas dia.

Darwisah punya pengalaman yang matang sebagai nelayan lobster. Ia bercerita, demi mencukupi kebutuhan hidup, dirinya berpetualang mencari lobster hingga perairan Bima. Itu dilakukan demi menyekolahkan empat orang anaknya.

”Berangkat dari Lombok pakai bus. Setibanya di sana, kami langsung turun ke laut mencari lobster,” aku dia.

Ia mengaku, sejak ada larangan ini pendapatannya menurun signifikan. Biasanya sebulan ia bisa membawa pulang uang hingga jutaan. Tapi, sekarang dirinya hanya bisa membawa pulang uang Rp 500 ribu sebulan. Itupun jika hasil tangkapan ikan sedang mujur.

”Kami merasa aneh saja dengan larangan ini. Kenapa pemerintah tiba-tiba mengeluarkan kebijakan yang merugikan nelayan,” akunya.

H Anas, nelayan, sekaligus tokoh masyarakat Seriwe, Lombok Timur  mengatakan pengusaha yang dulunya menampung tangkapan nelayan kini tiarap. Mereka tak lagi membeli, lantaran pintu ekspor sudah ditutup serapat-rapatnya. Nelayan sebagai orang terlemah dalam rantai produksi ini tentu menjadi yang paling terdampak. Diceritakan, dalam periode awal pemberlakuan larangan, tak sedikit yang kelimpungan. Mengambil utang di sana dan sini. Bingung hendak berbuat apa.

”Kita dilarang tanpa ada solusi alternatif,” katanya.

nelayan berangkat menangkap benih lobster

Di selatan Lombok, ia memperkirakan ada seribu lebih nelayan yang bergelut dengan lobster. Kini mereka dipaksa mencari penghidupan baru sendiri-sendiri. Ada yang menjadi nelayan biasa seperti dulu, ada yang menjadi buruh serabutan, tak sedikit yang yang merantau ke Malaysia.

”Kalau saya ya terpaksa jadi nelayan lagi, walaupun sudah mulai tua,” jawabnya.

Namun layaknya pedang bermata dua, pasti ada sisi lain yang berbeda 180 derajat. Jika para nelayan penangkap kesal, marah, dan kecewa dengan Menteri Susi, tak demikian dengan nelayan pembudidaya. Mereka menganggap aturan ini seolah menjadi berkah.

Pasalnya sebelum ada aturan larangan ekspor bibit lobster, pembudidaya lokal kerap kesulitan mendapat bibit. Mereka kalah saing dengan pengusaha besar yang memborong semua anakan yang ada. Bahkan kendatipun mereka menawar dengan harga lebih tinggi, tetap jarang ada yang menjual.

”Soalnya nelayan penangkap sudah deal makanya tak berani jual ke kita,” aku Mustakim, nelayan pembudidaya di kawasan Gunung Malang, Pringgabaya.

Tak heran dulu banyak lubang pembudidayaan keramba yang dibiarkan kosong begitu saja. Tapi kini mereka bisa bernafas lega, bibit lebih mudah didapatkan. Kawasan utara yang terbilang baru dalam hal pembudidayaan mulai berkembang. Tak hanya di utara, di timur, gairah positif juga terlihat. Di Labuhan Haji, tepatnya di Suryawangi, sejumlah nelayan penangkap mulai belajar membudidayakan lobster.

”Saya pernah panen satu kali, 27 ekor, nilainya Rp 3,3 juta,” kata Abdurrahman, nelayan setempat.

Bahkan di kawasan Tanjung Luar juga kini terdapat budidaya yang juga menggeliat. Daeng Ihsan, tokoh setempat mengatakan budidaya ini bisa menjadi solusi ditengah kesulitan nelayan mencari ikan. Pria yang juga anggota DPRD Lotim mengatakan sedikitnya 20 nelayan sudang mengawali di sana.

”Tinggal bimbingan dari pemerintah saja,” katanya.

Kabid Perikanan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Lombok Timur, M Iqbal mengatakan selama tak mengekspor bibit, penangkapan untuk budidaya tak bisa disalahkan. Itu menjadi solusi di tengah aturan yang hingga kini tak kunjung ditarik oleh pusat.

”Antara boleh dan tidak, tapi saya kira ini jadi jalan tengahnya,” katanya.

Direktur Lesa Demakrasi Hasan Masat yang sejak awal mengadvokasi nelayan lobster tidak habis pikir dengan kebijakan Menteri Susi. Menurutnya, kebijakan itu lebih banyak mudaratnya. Jika alasan keluarnya peraturan untuk mengatasi kelangkaan bibit, bukan dengan cara menangkap nelayan, tapi memperbanyak tempat pembibitan.

“Mana pernah ada orang dinas kelautan melatih intens nelayan untuk pembibitan dan budidaya,’’ kritiknya.

Previous post

Potensi Perikanan Budidaya Sumbawa

Next post

Nelayan Diperlakukan Layaknya Penjahat

Fathul Rakhman

Fathul Rakhman