BeritaHumaniora

Moto GP, Kekeringan, dan Sekolah Usang…….

Besok malam – infonya – akan ada konser artis di pinggir pantai Selong Belanak

Kira-kira 30 menit dari lokasi konser itu…..

 

*****

+ Kenapa ada temanmu yang tidak masuk?
– Dia pergi mengantar, bu guru

+ mengantar siapa, kemana?
– mengantar bapaknya yang mau ke Malaysia

Hari yang panas. Bukit tandus. Air sumur mengering. Kaki kaki kecil yang kotor. Berdebu. Sandal usang tak mampu menutupi kaki mereka. Yang punya sepatu beruntung.

Bahkan di dalam ruang kelas beratap spandek sandal tak melindungi kaki mereka dari debu. Debu dari semen lantai yang menganga. Debu dari bukit di samping kelas yang masuk ke kelas. Angin sepoi membawa debu. Tak membawa kesejukan. Batu-batu besar di sekitar sekolah seakan memantulkan kembali panas. Atap spandek yang sudah banyak berlubang tak juga mampu meredam hawa panas.

Tapi anak-anak ini tak kehilangan semangat. Sekolah adalah tempat bermain. Sekolah tempat menyenangkan. Walaupun untuk sampai sekolah mereka harus jalan kaki. Melintasi beberapa bukit tandus. Melintasi jalan setapak berdebu.

Sebenarnya tak ada alat bermain di sekolah mereka. Satu-satunya barang paling berharga di sekolah mereka adalah sebuah lemari plastik. Lemari itu dibeli dari hasil saweran para guru. Lemari murah. Tapi mahal bagi para guru yang merangkap jadi petani. Dengan honor Rp 500.000 ( untuk enam bulan), saweran adalah pilihan mereka. Lemari tempat menyimpan buku pelajaran usang. Tak ada kuncinya. Karena tak ada barang berharga yang harus dikhawatirkan.

Anak-anak harus sekolah. Tinggal di rumah juga tak ada yang bisa mereka lakukan. Bermain bersama tetangga, tetangga mereka berjauhan. Tak bisa membantu orang tua ke ladang. Sebab ladang mereka hanya bisa ditanami sekali setahun. Saat hujan mulai mencumbu bumi. Jagung, padi gogo rancah, dan berbagai palawija. Selebihnya pada musim kemarau hanya mengandalkan sisa tabungan. Bagi yang punya kebun, masih berdiri tegak jambu mete.

Di sekolah anak-anak bisa bermain. Melupakan sejenak masalah di rumah. Bagi anak-anak perempuan, berada di rumah harus siap membantu mengurus dapur. Bagi anak laki-laki membantu mencari pakan ternak yang semakin susah. Bapak tidak ada di rumah. Menjadi kuli di Malaysia. Menjadi buruh di kota.

_ Tapi rumah-rumah di sini terlihat bagus, bu guru. Saya menunjuk ke arah rumah bata. Belum rampung. Tembok belum diplester.

+ Rumah bagus di kampung ini hasil dari Malaysia.

anak-anak pulang sekolah melewati bukit tandus

****

Kampung Batu Payung, Desa Montong Ajan, Lombok Tengah. Berbatasan dengan Nambung ( Desa Buwun Mas, Lombok Barat). Jika bediri dari atas bukit akan tampak pantai yang memanjang dari Pengantap hingga Selong Belanak. Dari bukit tandus terlihat pantai pantai berpasir putih. Jika punya nyali melewati bukit-bukit ini, perjalanan ke pantai Torok Aik Belek hingga Selong Belanak lebih dekat.

Saya bertemu dengan beberapa perempuan. Mengantri di sumur. Menunggu air menetes dari dinding-dinding sumur. Timba diturunkan. Hanya terisi seperempat saja. Air sumur kering. Perlu menunggu sejam dua jam agar bisa penuh satu ember.

Yang punya mobil pick up bisa mengambil air dari tempat lain. Yang punya uang lebih bisa membeli air. Yang hidup pas-pasan harus siap mengantri. Kadang tengah malam. Sambil ngeronda. Tengah malam air yang menetes dari dinding sumur sepertinya lebih banyak. Ember lebih cepat penuh.

 

anak-anak sedang membaca buku

Tak ada kamar mandi. Tak ada sumur di sekolah. Datang dengan kaki berdebu. Pulang lebih tebal debunya. kamar mandi dan sumur adalah kemewahan. 10 tahun berdiri, ruang kelas yang layak pun masih jadi mimpi.

Tak enak meminta uang kepada orang tua. Beberapa rumah memang bagus. Bukan berarti kaya. Itu hasil bertahun-tahun membanting tulang di kebun sawit Malaysia. Pernah ada yang pulang dalam peti jenazah. Sekolah hanya meminta sumbangan beras dan sayur mayur. Ketika hendak rapat. Kenaikan kelas atau ujian. Masak bersama-sama di sekolah. Makan bersama.

+ saya punya kenalan nelayan, jadi bisa beli ikan murah. Jadi lauk

Ucap Ibu Marhamah. Satu-satunya guru honorer yang sudah dapat sertifikasi. Single parent. Dua anak. Satu sedang kuliah. Satu masih di madrasah. Honor Rp 1.5 juta per bulan, lebih sering dibayar telat. Jika honor tiga bulan ini cair, dia akan membeli beberapa zak semen. Untuk menambal lantai kelas yang semakin berdebu. Tak mampu untuk membeli spandek. Sebab dia harus menghidupi dua anaknya yang bersekolah.

+ saya pernah rasakan kerja di ladang. Sangat perih. Sangat panas. Sejak saat itu saya langsung sekolah. Bapak saya ke Malaysia. Menghilang lama. Saya kira sudah meninggal.

Ibu Guru Marhamah sedang mengajar

Setidaknya anak-anaknyak tak perlu membanting tulang seperti dirinya. Dia membebaskan anak-anaknya untuk kuliah dimana saja.. Mengambil jurusan apa saja. Sang anak sudah bulat tekadnya : ingin jadi guru. Jadi guru honorer tidak membuat kaya. Tak lebih baik ketimbang harus jadi TKI atau TKW.

+ dengan pendidikan yang bagus kita bisa memiliki lebih banyak pilihan

Ibu guru berapi-api memberikan semangat. Itu pula yang membuatnya menerapkan aturan. Pulang sekolah jam 12. Walaupun kadang berat hati. Tak semua anak-anak sarapan dari rumah. Tak semua memegang uang saku. Tapi dia terus mengingatkan kepada orang tua. Berikan ganjal perut pagi hari. Agar anak-anak tak menuntut uang belanja.

 

Pak Guru Marium, salah seorang perintis sekolah

Marium namanya. Hanya tamat SMA. Dia jadi guru dan merangkap jadi apa saja di sekolah. Dia adalah warga kampung ini. Merintis sekolah ini.

Bagi anak-anak kelas rendah, sekolah ke SD terdekat sangat jauh. Tak semua orang tua punya motor untuk mengantar. Para orang tua sepakat. Bangun sekolah di kampung dengan 59 KK tersebut.

Masalah muncul. Tak ada yang punya uang lebih untuk menguruskan semua dokumen. Akhirnya ada solusi. Menginduk di sebuah madrasah di desa lainnya. Legalitas atas nama sekolah induk. Tapi tetap sekolah ini milik masyarakat kampung Batu Payung.

Tak mampu menggaji tinggi para guru. Tak enak menuntut guru full mengajar setiap hari. Seperti Marium, untuk menghidupi keluarga dia bertani. Tapi tetap memikirkan sekolah.

Ketika saya menyodorkan buku bacaan kepada anak-anak mereka antusias. Cukup lancar membaca. Anak-anak kelas 1 lebih senang melihat gambar. Belum lancar membaca.

_ benar-benar dari nol mengajar kelas satu.

Marium termasuk anak muda yang tak berangkat ke Malaysia. Teman sepermainannya, sepertinya semua hampir pernah ke Malaysia. Orang dewasa di kampung ini sebagian besar pernah ke Malaysia. Mungkin itu juga yang membuat jarang terlihat orang dewasa. Mereka ke Malaysia. Pekan lalu Marium mengantar mertuanya ke bandara. Jadi TKI ke Malaysia. Dia hanya berdoa. Mertuanya selamat sampai Malaysia. Bisa mengirimkan uang untuk keluarga di rumah. Selamat kembali pulang. Dengan rumah baru yang lebih baik.

 

pemandangan dari atas bukit ke arah pantai

_ bukit itu milik dokter dari Mataram. Dulu dibeli dari orangtua kami. Murah sekali zaman itu.

Kakaknya Marium berkisah. Kisah baru 5 menit istrinya datang membawakan kopi.

_ kalau di bawah sudah banyak dijual ke turis.

Torok Aik Belek hingga Selong Belanak adalah tempat yang ditunjuk. Tempat kita bisa melihat para penggembala kerbau menghalau ternak mereka. Melewati jalan aspal. Melewati beberapa bungalow. Bekas tanah mereka. Bekas tanah tetangga mereka. Menjadi bungalow indah. Dengan orang-orang berkulit pucat, rambut pirang duduk santai di teras. Beberapa jalan kaki mendorong gerobak untuk bayi mereka. Menikmati matahari tropis. Menikmati pantai berpasir putih. Di sepanjang jalan terpampang Land for Sale

_ saya tidak mau jual tanah saya. Malahan kakak saya maunya beli tanah lagi.

Desa tetangga mereka, Buwun Mas juga sama. Tanah-tanah kelas satu di pinggir pantai sudah berpindah tangan. Entah tangan ke berapa. Kini mereka akrab dengan “wisatawan mancanegara”. Konon kehadiran orang berkulit putih-pucat itu akan mendatangkan berkah bagi mereka.

Pariwisata
MotoGP

****

Selamat ulang tahun ke-74 untuk Lombok Tengah.

Selamat menikmati hiburan artis ibukota. Nikmati hiburan gratis itu. Sebab, jika kelak kampung-kampung sudah dipermak, tak ada lagi gratis.

 

_ fathul rakhman _

Previous post

PENGHARGAAN AL-AZHAR MESIR KEPADA TGB

Next post

Tuan Guru, Kami Akan Terus Kawal

Mayung

Mayung

No Comment

Leave a reply