Inspirasi

Mursidi, Guru Honorer Pemulung

Pagi hingga siang hari Mursidi, 26 tahun, melakoni pekerjaan sebagai guru sekaligus staf tata usaha. Pulang sekolah berganti kostum, menjadi pemulung yang merangkap pedagang keliling. Inilah kiprah anak muda penggerak ekonomi kecil di desanya. Kini dia dipercaya sebagai Ketua Pusat Inkubator Binsis Desa (PINBID) Desa Pesanggrahan, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur.

*****

Kami bertemu Mursidi pada bulan Ramadan. Karena puasa, jadwal sekolah di SMPN 1 Montong Gading, tempat Mursidi mengabdi, berakhir lebih awal. Bagi Mursidi,  26 tahun, staf tata usaha sekaligus guru geografi, pulang lebih awal ini dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sambil menunggu waktu berbuka, Mursidi memiliki waktu 6 jam untuk melakoni profesi lainnya : pemulung dan pedagang keliling.

Belum lama duduk di teras rumahnya di Dusun Pesanggrahan, Desa Pesanggrahan, Kecamatan Montong Gading, HP bututnya berdering. Di seberang telepon, suara perempuan terdengar dari speaker HP. Perempuan itu mengabarkan barang-barangnya sudah siap dan meminta Mursidi segara datang ke tempatnya.

Rabu siang (7/6/2017), perempuan yang menelepon Mursidi itu adalah pedagang di tempat wisata Otak Kokok Joben, sekitar 5 km dari rumah Mursidi. Perempuan itu mengabarkan karung berisi barang rongsokan sudah penuh. Mursidi meminta perempuan itu menunggu dan menanyakan apakah ingin beras atau pulsa listrik. Tapi perempuan di seberang telepon hanya meminta Mursidi datang, tanpa membawa beras atau token pulsa listrik.

Perempuan itu adalah salah satu mitra kerja Mursidi, tentu saja mitra kerjanya sebagai pedagang keliling dan pemulung. Sebagai pengepul sampah layak jual, Mursidi membangun jejaring di ratusan titik. Dia menyebut sudah ada 200 kios dan lapak pedagang kenalannya di seluruh Kecamatan Montong Gading. Dia sudah memesan jauh hari sebelumnya, jika ada barang bekas yang bisa dijual seperti kardus, kertas, bekas gelas dan botol mineral, agar segera menghubungi dirinya. Informasi dari para pedagang itu akan menentukan jenis keranjang yang akan dibawa.  Dua buah keranjang yang sudah diikat dan bisa diletakkan di atas  motor, atau sekadar membawa karung.

“Ibu itu masih punya utang beberapa ribu, mungkin dia tidak enak minta isi pulsa listrik lagi,’’ kata Mursidi menyebutkan profil perempuan yang meneleponnya itu.

Mursidi bukan pemulung biasa yang hanya sekadar mengumpulkan sampah. Dia menyebut dirinya sebagai bank sampah. Para nasabahnya adalah pedagang kecil, pemilik lapak kaki lima. Mereka menabung di Mursidi dengan sampah.  Lalu, Mursidi membayar sampah itu dengan beras, pulsa listrik, dan aneka barang jualan.

Di luar bulan Ramadan, para pemilik lapak di Otok Kokok Joben banyak memesan makanan ringan dan minuman ringan. Di luar bulan Ramadan tempat wisata pemandian itu diserbu ratusan pengunjung. Belasan pedagang kaki lima mengandalkan hidup dari kunjungan wisatawan. Barang jualan mereka dipasok oleh Mursidi.

“Mau bayar pakai uang bisa, bayar pakai sampah juga boleh,’’ kata Mursidi.

Bisnis yang dijalankan Mursidi ini untung dua kali. Pertama, dia dapat untung dari penjualan barang ke pemilik lapak. Keuntungan kedua, sampah yang dikumpulkan akan kembali dijual. Sementara bagi pemilik lapak, sangat terbantu dengan model bisnis yang dijalankan Mursidi. Mereka bisa berutang dan mencicil dengan sampah sisa barang jualan mereka. Untuk jenis jualan tertentu seperti air mineral, mereka tidak perlu penuh membayar dengan uang. Botol dan kardus air mineral itu bisa dipakai menomboki sisa pembayaran. Secara tidak langsung, bisnis Mursidi ini mengurangi sampah di kawasan wisata itu.

“Kalau dulu sampah botol plastik bercecer, sekarang pedagang sendiri yang memungut,’’ kata Mursidi.

Mursidi juga memberikan pinjaman uang modal usaha. Untuk pengembaliannya, bisa dicicil dengan uang dan sampah. Sampah ditimbang dan disepakati harganya. Jika tabungan sampah itu sudah cukup sesuai dengan uang yang dipinjam, maka utang dianggap lunas. Seperti perempuan yang menelepon Mursidi itu, dia berutang pulsa listrik dan barang, untuk pembayarannya memakai sampah.

“Mau seminggu, mau sebulan tidak ada masalah. Ini juga untuk melawan bank rontok yang memberatkan pedagang,’’ kata alumnus Universitas Hamzanwadi Pancor ini.

Barang jualan yang diedarkan Mursidi ke lapak-lapak kaki lima itu juga produksi warga di desanya. Mursidi adalah ketua kelompok usaha kecil di desanya. Anggota kelompoknya memproduksi tortila, keripik pisang, kerupuk, dan kini mulai memproduksi tempe. Barang-barang itu diedarkan Mursidi ke lapak kaki lima dan kios-kios kenalannya yang mencapai 200. Mursidi hanya mengambil keuntungan secukupnya, pengganti operasional dan upahnya.

“Jika dibandingkan gaji honorer, alhamdulillah hasil keliling dan sampah ini bisa menutupi kebutuhan rumah tangga,’’ kata Mursidi yang sudah dikarunia satu anak. Tanpa menyebut berapa keuntungan bersih, Mursidi mengatakan uang dari hasil bisnisnya lebih tinggi dibandingkan honor sebagai guru.

 

Tidak risih sebagai guru nyambi jadi pemulung ?

Mursidi menuturkan, awalnya banyak yang mencibir kegiatannya ini. Sarjana pendidikan kok jadi pemulung. Apalagi beberapa kali dia bertemu dengan siswa siswinya. Maklum saja siswa siswi sekolah tempatnya mengajar berasal dari desa-desa di Kecamatan Montong Gading. Sementara Mursidi setiap hari keliling desa di Montong Gading. Seorang siswa pernah menegurnya di jalan saat dia mengambil karung berisi sampah. Lain waktu siswanya menanyakan apakah Mursidi tidak malu. Begitu juga dengan rekannya sesama guru dan staf di SMPN 1 Montong Gading.

“Lama-lama biasa, malahan sekarang kalau ada rekan di sekolah yang punya sampah saya yang ambil,’’ kata Mursidi.

Mursidi punya pandangan tersendiri tentang mencari nafkah. Lahir di orang tua pas-pasan, buruh tani dan pengembala ternak, banyak rekan bermainnya yang memilih menjadi buruh migran. Desa Pesanggrahan adalah salah satu kantong buruh migran ke Malaysia. Mursidi beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi.

Menjadi guru adalah harapan orang tuanya, dan Mursidi melakoni itu. Tapi dalam hati kecilnya dia melihat banyak potensi di desa yang disia-siakan begitu saja. Banyak usaha yang sebenarnya bisa dilakoni untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Jika diseriusi bisa menjadi pekerjaan pokok. Mursidi melihat tidak banyak anak muda di kampungnya melihat potensi itu.

Melakoni sebagai pemulung dan pedagang keliling, sekaligus guru, Mursidi ingin menunjukkan dirinya yang sarjana tidak mau melakukan pekerjaan itu. Menjadi sarjana bukan berarti gengsi melakukan pekerjaan yang dinilai hanya untuk orang tidak berpendidikan. Justru dengan pendidikan tinggi itu, pekerjaan itu bisa bernilai lebih. Mursidi tidak sekadar membeli dan menjual barang bekas, tapi dia juga membantu ratusan warga kurang mampu. Mengubah sampah jadi duit. Sehari perputaran uang dari barang yang dijual, sampah yang dikumpulkan, produksi olahan makanan titipan anggota kelompok usaha  bisa mencapai Rp 1.000.000.

“Saya sebagai perantara produk teman-teman di sini ke kios,’’ katanya.

Mursidi juga terus mencari informasi bisnis baru. Belakang ini dia dan istrinya mencoba memproduksi tempe sendiri. Mencari referensi tentang usaha tempe, dan Mursidi akan mencoba memasarkannya. Sebagian besar barang yang dijual Mursidi memang diambil dari distributor, tapi kelak dia berharap barang yang dijual adalah produksi warga di desanya. Untuk itu Mursidi selalu membaca peluang bisnis baru. Mencoba usaha itu, dan jika berhasil dia senang jika ada orang lain mengikuti. Seperti menabung dengan sampah yang awalnya diikuti satu atau dua orang tetangganya. Kini merembet ke desa lainnya di Kecamatan Montong Gading. Langkah kecil dari Dusun Pesanggrahan kini meluas menjadi kecamatan.

Karena profilnya ini pula, Murdisi dipercaya sebagai Ketua Pusat Inkubator Bisnis Desa (PINBID) Desa Pesanggrahan. Secara langsung dia berinteraksi dengan anggota kelompok lewat usaha makanan olahan produksi kelompok. Mursidi tangan kedua yang menjual produksi kelompok itu.Tapi harapan terbesar, profil Murdisi sebagai guru menjadi motivasi bagi anggota kelompok bahwa jika menggeluti satu jenis usaha dengan serius bisa menghasilkan pendapatan yang cukup. Tanpa harus menjadi buruh migran, orang-orang di kampung  bisa sukses. Murdisi menunjukkan salah satu jalannya. (*)

 

Sekolah Petiwung, Potret Miris Sekolah di Kawasan Wisata
Previous post

Sekolah Petiwung, Potret Miris Sekolah di Kawasan Wisata

Berangkat Tanpa Paspor, Pulang Tanpa Kaki
Next post

Berangkat Tanpa Paspor, Pulang Tanpa Kaki

Fathul Rakhman

Fathul Rakhman

No Comment

Leave a reply