Berita

TARIAN PARA TELANG KEMBULAN

(Kepada Petarung Kalah yang tak Tahu Malu)

Oleh: Dr Salman AlFarisi

Dosen di Universitas Malaysia

Kembulan dalam bahasa Bourdieu (salah seorang tokoh postrukturalis terkemuka) ialah modal. Baginya modal mempunyai peranan penting dalam sebuah kontestasi. Modal menjadi juru kunci para aktor jika hendak mendapatkan sebidang arena di ranah kontestasi. Dengan kata lain, aktor hanya berhak menjadi peniup asap dupa kalau tak memiliki modal yang cukup, apalagi tidak mempunyai modal samasekali.

Nah, pilkada yang sebentar lagi merupakan arena, pusat magnet kontestasi untuk mendapatkan prestise. Persoalannya adalah, tidak semua kontestan mempunyai modal yang cukup untuk unjuk gigi di garisan arena yang sangat manis itu. Kemudian, sebagai aktor yang merasa punya hak dan pengalaman melakoni kontestasi, mau tidak mau, aktor dituntut pandai mencari remah-remah yang, setidaknya rerumputan remah tersebut memberikan modal sosial yang dapat melegitimasi kredibilitas keaktorannya.

Ketika genderang sudah dipalu di arena, segala kesempatan bisa dijadikan remah-remah yang bisa diolah menjadi rempah modal berkontestasi.

Rupanya, aktor yang hanya punya isi perut tapi tak punya isi kantong sangat banyak. Mereka berkeliaran mengendus-endus remah. Semakin dekat genderang ditalukan, lubang hidung mereka semakin terbuka lebar alias perangah. Tak peduli tahi hidung bin tain edung menyeruak keluar yang, mungkin saja mempermalukan para aktor.

Hidung bengeh ini,akhirnya mencium aroma sedap dari surat Gubernur NTB yang berisi permintaan penggunaan nama ZAM di BIL yang, merupakan keputusan pusat.

Aroma itu kemudian diolah dengan bumbu-bumbu primordialistik dengan narasi pertumpahan darah sebagai pembasuh isme keselatanan.

Ada yang menarik dari olahan ini. Pertama, penglibatan atau keterlibatan ASN sebagai mandor penggoreng rempah. Kedua,menojolkan suara selatan sebagai representasi suara kebanyakan yang dioalah-alih seolah-olah yang itu benar sebagai perwakilan suara selatan. Ketiga, keterlibatan pemimpin daerah sebagai pencetak gol utama dari kesebelasan teriak-teriak aktor yang telang kembulan alias kehabisa modal.

Pada bagian ketiga ini cukup menarik karena sangat tampak yang, aktor ini sedang pete bati atau mencari laba dengan bermodalkan kedudukan politik yang berpenghujung.

Maka, jika melihat skema modal,arena,aktor,dan habitus yang dirungkai Bordieu,maka semakin jelas terlihat yang aktor utama ini menyadari diri sudah kehilangan banyak modal. Sedangkan pada sisi yang lain, ia masih ingin menjadi pemain dalam kontestasi pilkada,setidaknya melalui representasi dirinya (bisa anak atau keluarga,bahkan menatu). Dengan kata lain, dalam konteks penolakan perbaikan nama BIL,ZAM ialah remah-remah rempah yang sangat potensial untuk sang aktor utama mencari bati dan menebus kembulan yang sudah hilang banyak dalam kontestasi sebelumnya.

Narasi penolakan diciptakan bukan untuk menolak. Dengan kata lain,ia tak mempunyai ideologi penolakan karena bagaimana pun dia adalah penguasa yang secara hierarkis wajib tunduk kepada penguasa di atasnya. Ini bermakna, penolakan tersebut hanya kembulan terselubung untuk mendapatkan arena yang strategis.

Yang menarik, aktor utama ini berhasil memainkan asap yang digincu ideologis kepada kaule balenya yang nampak tak mengerti apa-apa tentang kontestasi politik yang diskenario secara murahan.

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa the penolakan voice hanyalah sebuah check sound dari aktor yang mempunyai kemelek kuasa besar namun tak punya modal untuk membeli sabun politik.

Penolakan tersebut tak lebih dari tarian para pengibing yang kehabisan kepeng di arena jangger. Untuk menutupi kemaluannya,ia duduk di depan meskipun sudah ditepek berulangkali. Dan ketika ia benar-benar ditepek oleh jangger,ia akan memperagakan tarian dengan koreografi tak karuan. sekali lagi, tarian tersebut hanya untuk mengelabui penonton yang, dia tak punya uang namun masih haus dahaga untuk menghirup keringat jangger yang semakin menggoda ketika malam sudah beranjak naik. Namun lacur,akhirnya penonton meneriakinya jogang karena hingga tarian jangger tuntas,ia tak mengeluarkan uang samasekali. Hanya saja, dia tetap hebat, karena meskipun dia tak punya modal, dia masih bisa memperalat penonton dengan sekuat tenaga menguasai arena.

Nah, jika orang-orang masih percaya kepada aktor bangkrut seperti ini,sama artinya dengan mempercayakan hak paling dasar kepada kebodohan.

Dengan kata lain, tak ada idelogi dalam penolakan ZAM yang disounding sang aktor telang kembulan. Yang ada hanya aktor-aktor bangkrut yang masih ingin memijakkkan kaki di arena kontestasi pilkada yang sebentar lagi.

Dan sungguh, perjuangan yang tanpa ideologi hanya bisa dijalankan oleh pejuang-pejuang kalah yang masih meminta dihormati.

Malaysia, 17/11/2019

Previous post

Air Bersih Bukan Untuk Orang Miskin

Next post

Beriuk Maju, Jaya Bersama Usaha Tempe

Mayung

Mayung

No Comment

Leave a reply