Zimat Ilmu Kebal dalam Literatur Kuno Lombok
Lombok kaya dengan literatur. Ada yang masih berupa tulisan di atas lontar, ada juga yang sudah ditulis di atas kertas. Banyak pelajaran yang bisa didapat dari warisan leluhur itu. Tapi sayang, tak sedikit yang kondisinya mengenaskan.
****
Matahari belum menyengat ketika rombongan kami tiba di Dusun Rembitan I Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah (Loteng). Sepanjang perjalanan, peneliti dari Pusat Penelitian Pengembangan Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama, Alfan Firmanto dan Tantowi Jauhari bercanda dengan sejarawan dari IAIN Mataram, Dr Jamaludin. Sesekali, Jamaludin yang sekaligus menjadi penunjuk jalan memencet beberapa nomor di HP nya.
Di seberangan telepon, orang yang dihubungi mengatakan, dia sudah lama menunggu. Kebutuhan para peneliti sudah disiapkan tuan rumah. Begitu juga buah tangan yang akan dibawa ke rumah yang akan dikunjungi tersedia di bagian belakang mobil.
Tuan rumah, H Lalu Sidik menyambut dengan senyum. Di rumah sederhananya itu, mantan kepala Desa Rembitan ini menggelar tikar di terasnya. Alfan menyiapkan perlengkapan utamanya, kamera digital Canon EOS 7D, tripot khusus, laptop dan beberapa pendukung.
“Jangan mulai bekerja dulu, ini harus dinikmati,’’ kata HL Sidik menyodorkan kopi hitam pekat pada rombongan.
Mamiq Sidik,panggilannya, adalah tuan rumah yang ramah. Tak sekadar menyeduhkan kopi, beberapa jenis kue juga disuguhkan pada tamu dari Jakarta. Setelah mengobrol 35 menit, barulah kegiatan utama, mendokumentasikan naskah kuno dimulai.
Mamiq Sidik mengeluarkan lima buah naskah yang tertulis di atas lontar. Naskah itu dipinjam dari kerabatnya di Desa Rembitan. Selain Mamiq Sidik, menjelang siang, ikut bergabung Lalu Tinggil, salah seorang pembaca naskah dari Rembitan.
“Kami tidak bisa membaca yang aksara kuno seperti ini. Kami butuh orang-orang yang terbiasa membaca,’’ kata Dr Jamaludin yang menulis disertasi tentang sejarah Islam di Lombok berdasarkan naskah kuno.
Ada lima naskah yang dikeluarkan Mamiq Sidik. Setelah dibaca, naskah-naskah itu berjudul puspakarma, rengganis, purwadaksi, jabal kaf, dan anakidung. Saya hanya duduk menyimak ketika Lalu Tinggil membaca naskah-naskah itu.
Naskah anakidung paling menjadi perhatian tim peneliti. Naskah yang panjangnya seukuran jari telunjuk orang dewasa itu dibungkus kain putih. Beberapa kali Mamiq Sidik juga meminta naskah itu sebaiknya belakangan dibuka.
“Sebenarnya ini lima lapis bungkus kain putihnya, saya hanya bawa yang satu lapis,’’ katanya membuat penasaran.
Beberapa jam selanjutnya, Alfan sibuk dengan pekerjaannya. Membuka satu persatu lembaran lontar, merekam dalam format foto. Pekerjaan melelahkan, mengingat naskah lontar yang akan didigitalisasi ukurannya kecil. Presisi kamera harus bagus. Fokus harus tepat agar tidak ada huruf yang kabur terlihat.
“Kalau naskah dalam bentuk kertas lebih mudah, dua lembar sekali foto. Kalau lontar satu lembar justru dua kali foto,’’ katanya.
Istirahat sholat dan makan siang, Alfan baru menyelesaikan dua naskah. Hingga menjelang sore, barulah lima naskah itu diselesaikan. Terakhir, naskah anakidung yang paling sulit direkam. Naskah anakidung ini berbeda dengan naskah lainnya, yang bercerita tentang nasihat sehari-hari. Anakidung itu lebih berisi doa-doa.
“Kalau yang punya yakin, tidak mempan dengan segala senjata,’’ kata L Tinggil menjelaskan fungsi lain naskah anakidung itu.
Lelaki yang hanya bersekolah sampai kelas 4 sekolah rakyat (SR)/SD itu memang tidak menjelaskan panjang lebar isi anakidung. Dia sepertinya segan, mengingat isi naskah itu berupa lafal untuk kesaktian. Cukup diselipkan di pinggang, si pemegang naskah itu tidak akan didekati oleh makhluk halus. Termasuk tak mempan segala jenis senjata besi.
“Orang yang megang bisa mengobati penyakit akibat makhluk halus,’’ ujarnya.
Pekerjaan medokumentasikan naskah kuno, dalam lembaran lontar itu memang cukup melelahan. Sehari, hanya lima naskah yang diselesaikan. Dr Jamaludin, sebagai penunjuk jalan terpaksa membatalkan untuk bertemu dengan pemilik naskah lainnya. Cukup kerepotan untuk mendigitalisasi naskah jika hari sudah gelap.
Selain lima naskah tersebut, sebenarnya masih ada lagi naskah kuno. Sayang, kedatangan tim peneliti tidak tepat. Naskah itu hanya bisa keluar pada bulan maulid. Itupun bertepatan dengan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awwal pada kalender Hijriyah. Untuk mengeluarkan naskah itu, pemegang naskah harus menggelar rowah (pesta). Barulah naskah yang sebenarnya berisi kisah yang berkaitan dengan kehidupan Rasulullah itu bisa dikeluarkan.
“Bagi peneliti mungkin naskah itu layaknya sebuah benda biasa yang akan diteliti, tapi bagi masyarakat itu sakral,’’ kata Dr Jamaludin.
Jamaludin yang menulis tentang sejarah Lombok berdasarkan sumber naskah kuno pernah harus mengeluarkan kocek jutaan rupiah. Saat itu, naskah yang akan dia pelajari hanya bisa keluar pada bulan tertentu dan harus ada syukuran.
“Saya belikan kambing dan biayai rowahnya,’’ kata doktor sejarah peradaban Islam ini.
*****
Naskah-naskah kuno yang disimpan masyarakat bisa menjadi sumber sejarah Lombok, khususnya sejarah Islam. Sayangnya, tidak semua orang bisa membaca tulisan aksara kuno yang dulu populer dengan sebutan hanacaraka itu. Belum ada upaya pemerintah di NTB, khususnya di Lombok agar naskah itu bisa diketahui semua orang.
Lalu Tinggil, 64 tahun, terbata-bata ketika menjelaskan isi naskah kuno itu. Mulutnya komat kamit, sesekali mengeluarkan suaranya yang sedang nyaer. Layaknya orang menyanyi, pria yang hanya sekolah sampai kelas 4 sekolah rakyat (SR)/SD itu terlihat serius. Selang beberapa menit, dia menjelaskan arti apa yang dia baca.
“Ini tentang nasehat sehari-hari,’’kata Lalu Tinggil menjelaskan ketika membaca naskah purwadaksi.
Naskah kuno yang didokumentasi hari itu, puspakarma, purwadaksi dan jabal kaf berisi nasehat. Sementara naskah anakidung berisi rajah dan doa-doa untuk kekuatan. Semua aksara dalam naskah itu, masih menggunakan aksara kuno, bukan huruf latin atau arab melayu.
Naskah kuno yang disimpan masyarakat memang banyak berisi nasehat sehari-hari. Tentu saja, itu terinspirasi dari ajaran para ulama. Kemudian, oleh masyarakat Sasak, para tokoh dalam cerita di dalam naskah itu dibuat dalam nama tokoh lokal.
“Memang penuh kiasan,’’ katanya.
Misalnya saja cerita di jabal kaf. Salah seorang pembesar dengan angkuh mengatakan bisa mengalahkan raksasa hanya dalam waktu 8 hari. Lantaran terlalu sombong akhirnya dia dihukum hingga 80 tahun. Belakangan hukuman berkurang menjadi 18 tahun.
“ Ini menjadi nasehat agar tidak sombong,’’ ujarnya.
Kisah dalam naskah itu memang banyak disadur dari kisah-kisah dari Jawa. Dalam proses penyadurannya, tokoh dan nama tempat bisa berubah. Sebagai contoh sederhana, cerita Cupak Gerantang yang populer di Lombok, merupakan kisah Panji di Jawa. Di tempat lain ada juga cerita serupa, tapi dengan nama tokoh yang berbeda.
“Latar belakang penyalin naskah juga memengaruhi, satu naskah yang sama judulnya tapi bisa lain ceritanya,’’ kata Dr Jamaludin.
Naskah kuno tersebut sebenarnya menjadi catatan masa lalu. Di beberapa tempat, ada naskah kuno yang masih tertulis jelas riwayatnya. Ulama siapa yang menulis, dimana dia berguru, dan apa saja kitabnya yang pernah ditulis ada tercantum di dalam naskah kuno itu. Itulah sebabnya ketika menulis disertasi tentang sejarah Islam Lombok, Dr Jamaludin menjadikan naskah-naskah kuno itu sebagai sumber primer.
“Kalau kita gali semua, informasi sejarah tentang Lombok akan terang benderang,’’ ujarnya.
Sayangnya, upaya untuk menggali itu belum maksimal. Selain menyimpan di museum, pemerintah belum menunjukkan keseriusan dalam menggali sejarah dari naskah kuno itu. Selain itu upaya penyelamatan naskah kuno juga masih terbatas.
Selain itu, upaya mewariskan kemampuan membaca naskah kuno itu belum dilakukan. Pada tahun 1990-an, pemerintah pernah menjadikan pelajaran membaca dan menulis aksara kuno itu sebagai pelajaran di sekolah dasar (SD).
“Tapi sekarang tidak ada lagi pelajaran itu. Sudah lama dihapus,’’ katanya.
Akibatnya, generasi muda tidak bisa membaca, menulis, memahami isi naskah kuno yang tertulis dengan aksara Jawa kuno itu. Hanya beberapa orang tua saja yang masih bisa. Kemampuan itu mereka dapatkan secara turun temurun.
“Bahkan ada yang tidak bisa bisa membaca menulis latin, bahkan berbahasa Indonesia. Tapi membaca aksara kuno dan bahasa Jawa kuno sangat lancar,’’ kata Jamaludin.
Menurutnya, pemerintah kabupaten dan provinsi harus sama-sama menjaga kelestarian naskah kuno itu. Melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, pemerintah bisa memprogramkan pendokumentasian, mulai dari dokumentasi digital, alih aksara, alih bahasa, analisa konteks dan menyebarkan dalam bentuk cetakan.
Begitu juga dengan Dinas Pendidikan, bisa kembali mewajibkan sekolah-sekolah agar mengajarkan aksara kuno ini. Jika dipelajari sejak awal, tidak menutup kemungkinan kelak akan muncul ahli naskah kuno. Atau minimal, generasi muda mengenali aksara kuno yang pernah dipakai para leluhur mereka.(*)
1 Comment
Kok aneh ya…
Menulis sejarah dengan sumber primer naskah kuno, tapi nggak bisa baca naskah kuno.
Sementara naskah kuno Sasak lebih dominan Kawi. Kalo pake Arab melayu, masih terlalu muda usianya.