HumanioraTeaser

Nelayan Diperlakukan Layaknya Penjahat

Pengantar

Tulisan ini adalah laporan khusus yang pernah terbit di harian Lombok Post pada akhir 2015. Saat itu kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang ekspor benih lobster menuai kontroversi dan mendapat penolakan kuat dari nelayan di NTB. Tulisan ini saya muat ulang di blog ini karena saat ini kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo juga menuai pro dan kontra.

—–

NIKMAT dari penjualan bibit lobster ke luar negeri hanya dua tahun dinikmati nelayan. Alih-alih mendapatkan kompensasi dari pemerintah, para nelayan pemburu bibit lobster ini diburu layaknya kriminal.

Darwisah, nelayan dari Sekotong, Lombok Barat sudah bertahun-tahun menggantungkan hidup dari hasil laut. Dia seorang nelayan tangkap. Ketika booming bibit lobster, dia berburu bibit lobster. Hasilnya jauh lebih besar dibandingkan meangkap ikan lainnya. Tapi itu hanya sebenar.

Dia  mengetahui adanya larangan penangkapan bibit lobster yang ukurannya di bawah 8 cm dari siaran televisi dan media koran. Sejak mengetahui itu, dirinya tidak berani turun menangkap lobster. Ia khawatir dirinya menjadi sasaran penangkapan aparat, gara-gara menangkap lobster yang tidak sesuai dengan keinginan Menteri Susi.

”Kalau sosialisasi dari pemerintah belum ada. Saya tahu dari TV dan koran,” katanya.

Lain lagi dengan cerita nelayan lobster di Desa Cemara, Kecamatan Lembar, Lombok Barat . Jika nelayan di Sekotong ragu menangkap lobster pascalarangan itu, berbeda dengan nelayan di Cemara. Hamid misalnya. Ia mengaku, tidak peduli dengan larangan itu.

”Tetap tangkap lobster. Mau kasih makan apa keluarga saya,” cetusnya.

nelayan bersiap mencari benih lobster

Meski mengabaikan larangan itu, Hamid tetap memperhatikan aturan yagng dikeluarkan Menteri Susi. Seperti tidak menangkap lobster yang masih kecil dan sedang bertelur. Ia bersama rekannya mengambil yang di atas dua ons saja.

”Kalau bicara rugi, kami sangat rugi dengan aturan ini,” aku dia.

Ia mengaku, dirinya menangkap lobster yang punya berat lebih dari dua ons. Kalau lobster yang satu ons tidak laku dijual. Harganya juga terbilang kecil.

”Tidak diambil kalau dibawah satu ons,” aku dia.

Larangan ini, sambung dia, sangat memberatkan nelayan. Ruang untuk mendapatkan penghasilan dari kekayaan bawah laut dipersempit. Seharusnya, kata dia, pemerintah mengeluarkan aturan disusul dengan alternatif lain. Seperti menyediakan lahan pekerjaan baru bagi nelayan.

”Kebijakan ada, tapi jalan keluar tidak ada. Ini namanya membunuh pendapatan kami,” pungkasnya

Bagi pemerintah di daerah, larangan dari Menteri Susi membuat susah. Kepala Dinas Perikanan dan Keluatan (DKP) Loteng Maulana Razak meminta agar pemerintah pusat meninjau ulang peraturan itu. Menurutnya, aturan itu menysengsarakan petani lobster. Peraturan itu, ibarat seorang anak yang tiba-tiba lahir di dunia, tanpa ada proses kelahiran.

“Paling tidak, ada sosialisasi dan sebagainyalah. Jangan tiba-tiba mengeluarkan peraturan sesuka hati. Prinsipnya, kami berada di posisi petani lobster,” katanya.

Dikatakannya, jumlah petani dan nelayan lobster di Loteng mencapai 1.800 orang. Terbanyak di wilayah Awang dan Gerupuk. “Alhamdulillah, Bapak Gubernur pasang badan melawan peraturan itu. Petani dan nelayan lobster dipersilahkan menangkap bibit lobster. Tapi, dengan catatan di budidaya. Bukan untuk dijual,” serunya.

“Mohon diindahkan saja aturan itu, sembari kita bersama-sama memperjuangkan agar Menteri Perikanan mencabutnya,” tambah Mualana

Lain lagi aparat kepolisian memandang aturan itu. Begitu aturan keluar, pihak kepolisian begitu gemar berburu nelayan. Sejak keluarnya aturan itu, sudah beberapa kali penggerebekan, penangkapan di lokasi, penangkapan di tengah jalan oleh aparat.

“Kita serius menangani ini,” ujar Direskrimum Polda NTB Kombes (Pol) Prasetijo Utomo.

Landasan hukum terkait hal ini pun, lanjut Prasetijo, sudah jelas. Keluaran menteri Susi, yakni Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 tentang penangkapan lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.) dan rajungan (Portunus pelagicus spp.).

Karena sejak permen ini dikeluarkan awal 2015, nelayan tidak bisa lagi melakukan penangkap bibit lobster dan menjualnya ke luar negeri. Sejak peraturan ini keluar,polisi bergerak bersama intansi terkait. Seperti dari pengawas Sumber Daya Perikanan dan Kelautan NTB dan Balai Karantina Ikan.

Dijelaskan Prasetijo, kejahatan terkait penangkapan dan penjualan lobster ini harus mendapat pengawasan ketat satgas. Sebab, dari kejahatan ini, negara rugi sangat banyak.

“Kerugian negara sampai bermiliar-miliar,” kata Prasetijo.

Kasus penangkapan yang tidak lama ini berhasil diungkap kepolisian yang bekerja sama dengan instansi terkait adalah pengungkapan dengan menggagalkan usaha penyelundupan terhadap  bibit lobster. Bibit lobster sebanyak 43.500 ekor dikemas  174 kantong yang ditaruh dalam tiga koper besar.

Kepolisian sendiri telah menetapkan tiga tersangka atas kasus tersebut. Dia mengatakan, pengungkapan ini adalah pengungkapan yang paling besar yang telah berhasil diungkap aparat gabungan.

“Dirjen Kelautan Kementerian Perikanan dan Kelautan sangat berterima kasih kepada kami terkait pengungakapan ini. Sebab ini merupakan salah satu keberhasilan aparat yang terbesar, ” kata Prasetijo bangga.

Mengapa demikian, sebab dari pihak Dirjen sendiri, tambah Prasetijo, mata rantai dari mafia penyelundupan benih lobster sudah putus. Kenyataannya, ini masih saja ada. Terutama di wilayah NTB.

nelayan pencari benih lobster

Tapi lain bagi Direktur Lesa Demarkasi, Hasan Masat. Aktivitis yang mengadvokasi nelayan lobster ini menilai tak patut rasanya aparat bangga menangkap para nelayan miskin. Para nelayan penangkap lobster itu menggantungkan hidupnya dari melaut.

Mestinya pemerintah berterima kasih pada nelayan yang penangkap lobster. Pemerintah tidak perlu sibuk mengurus mereka. Bertahun-tahun terlilit kemiskinan, dan membuat posisi NTB jeblok, kini mereka mulai sejahtera. Tidak sedikit diantara mereka menjadi kelas menengah baru.

“Tanpa bantuan pemerintah mereka bisa berusaha, ini kan bagus,’’ katanya.

Para nelayan penangkap lobster selama ini menggunakan alat tangkap tradisional. Mereka tidak merusak lingkungan. Mereka juga tidak mengeksploitasi berlebihan.

“Dulu ada yang jadi penjahat, pelaku pengeboman ikan, sekarang insaf karena hasil lobster. Ini sesuatu yang positif,’’ katanya.

Alih-alih mendapatkan pembinaan, kini para penangkap lobster ini ibarat penjahat. Tim dari Kementerian Kelautan yang di daerah diwakilkan Balai Karantina mulai rajin turun lapangan memburu para nelayan kecil pencari lobster. Mereka tiba-tiba menjadi orang galak. Aparat keamanan tiba-tiba begitu bersemangat menangkap para nelayan kecil, yang tidak mengerti hukum.

“Mudah-mudahan saja daerah selatan tidak menjadi rawan kembali lantaran banyak orang kehilangan mata pencaharian,’’ ujarnya. (*)

Previous post

Menteri Susi Bikin Susah Nelayan

Next post

Seniman Muda Tari dari Lenek

Fathul Rakhman

Fathul Rakhman