Seniman Muda Tari dari Lenek
Usianya masih muda untuk ukuran seorang seniman. Tapi, semua seniman di Desa Lenek, Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur, mengakui Ayuni Aristia Falastri adalah salah satu penerus tradisi berkesenian, khususnya tarian di desa yang dikenal dengan sebutan desa kesenian itu. Hampir semua jenis tarian yang ada dan berkembang di Lenek, bisa dibawakan Falastri. Tak heran jika para seniman senior di desa itu khawatir kalau Falastri akan cepat mengakhiri masa lajangnya. Pengalaman di Lenek, beberapa seniman tari perempuan, banyak tidak meneruskan aktivitas berksenian lantaran ikut suami.
SUATU sore sehabis hujan, belasan anak usia sekolah dasar (SD) berkumpul di Rumah Budaya Paer Lenek. Di panggung pementasan berukuran 10 x 9 meter, anak-anak itu meregangkan badan mereka. Tangan digerakkan ke kiri, kanan, atas, bawah, layaknya orang senam. Kaki-kaki mungil tanpa alas kaki berjalan pelan, kadang cepat di panggung. Itu merupakan gerakan pemanasan sebelum berlatih tari wajib untuk mengendurkan otot-otot.
Sebelum musik diputar, anak-anak yang masih duduk di bangku kelas 2 sampai kelas 5 SD itu mencoba beberapa gerakan tangan. Lutut ditekuk, jari-jari tangan bergerak lincah, mata mereka liar menoleh kiri-kanan. Tak ada raut senyum pada bibir mereka, walaupun beberapa teman laki-laki mereka yang datang menonton sesekali membuat keributan.
”Agak turun sedikit, matanya ikuti arah gerakan leher,’’ kata Falastri memberikan arahan sambil memegang tangan penari cilik itu dari belakang punggung penari cilik itu.
Ketika ada gerakan kepala dan gerakan mata yang dilihat kurang lentik, Falastri akan mendatangi penari cilik itu seraya memberikan contoh. Berdiri tegak, lalu lutut ditekuk, pinggul diserongkan ke arah kanan, kepala, mata, dan tangan digerak-gerakkan. Posisi seperti itu harus diikuti para penari cilik.
Setelah badan para penari cilik itu mulai lentur, barulah latihan tari dengan iringan musik gending para penabuh dari Lenek dilakukan. Sore itu, para penari cilik itu sedang memerdalam tarian Dara Ngindang. ”Mau pentas di Lingsar nanti,’’ kata Falastri.
Usai mendampingi para penari cilik itu, giliran Falastri menari bersama rekan-rekan seusianya. Mereka akan latihan tarian Gagak Mandi. Mengenakan baju kaos dan celana tiga perempat, para penari remaja itu langsung memutar musik dari handphone mereka. Tak ada yang mengawasi. Tapi begitu berhenti latihan, Falastri memperagakan gerakan, tepatnya kadar kelentikan jari, arah gerakan mata. Di kelompok penari remaja itu, Falastri sekaligus menjadi instruktur.
Sore itu adalah salah satu dari begitu banyak aktivitas menari Falastri. Pada malam hari, Falastri juga aktif menari, sekaligus melatih para penari belia di Sanggar Bebadosan. Mereka latihan tiga kali seminggu, sehabis pulang mengaji, biasanya antara jam 20.00 hingga 22.00 Wita. Jika akan ada pentas di luar desa, latihan diintensifkan pada hari libur sekolah. Maklum saja, di sanggar itu hampir semua penari masih berstatus pelajar SMP dan SMA. Falastri sendiri menamatkan pendidikan di SMAN 2 Aikmel, tak jauh dari rumahnya.
Tarian Gagak Mandi, salah satu karya maestro tari Amaq Raya, boleh dibilang Falastri adalah penerusnya. Para seniman senior Lenek melihat dari seni Amaq Raya, yang merupakan paman dari ibunya Falastri, mengalir ke darah Falastri. Dia begitu apik membawakan tarian yang diciptakan Amaq Raya ketika masih muda itu. Dalam sebuah pementasan yang disaksikan Koran ini, sangat terlihat perbedaan kemampuan Falastri dengan teman-temannya. Gerakan tangan, kaki, pinggang, jari-jari, bahkan gerakan bola mata, sangat terlihat jika Falastri masuk dalam kelompok mahir.
Dalam setiap pementasan ke luar Lenek, Falastri selalu diajak. Bukan hanya oleh Sanggar Bebadosan, tempatnya rutin latihan, tapi sanggar-sanggar lainnya juga kerap mengajak Falastri. Apalagi jika pentas diadakan Rumah Budaya Paer Lenek, nama Falastri masuk dalam daftar paling atas.
Dalam sebuah pementasan, para penonton kerap meminta penari untuk tampil lagi. Di sinilah letak keberuntungan membawa Falastri. Jika kembali tampil di atas panggung, dia tidak sekadar membawakan tari Gagak Mandi dan Dara Ngindang. Semua tari yang diciptakan, dikembangkan, digubah para seniman tari Lenek bisa dibawakan Falastri.
Falastri juga bisa membawakan tari Asmaradana, Gandrung, Tari Tangis, Anggada Duta, dan tarian Sasak lainnya. Dia juga mahir membawakan beberapa tarian Bali seperti Panji Semirang, Marga Pati, Tari Wiranata, Bintang Lombok dan lainnya. Pada sebuah pementasan, Falastri pernah duet dengan para dosen tari di jurusan seni STKIP Hamzanwadi Pancor. Para dosen yang notabene kuliah khusus tari dan mengajar tari itu tak pelit memuji Falastri. Seorang remaja yang belajar otodidak, bisa membawakan tari-tarian yang sulit dengan begitu mudahnya. Bahkan Falastri juga bisa menjadi sosok laki-laki dalam tarian yang semestinya dibawakan para lelaki.
”Saya belajar tari dari ibu saya,’’ kata Falastri tentang penguasaan beberapa jenis tarian Lombok dan Bali itu.
Tidak sekadar menjadi penari, semua jenis tarian yang dikuasainya itu diajarkan pula pada penari cilik dan penari remaja di desanya. Falastri pun terkenal sebagai guru tari. Di sekolah yang dekat dengan rumahnya, Falastri menjadi pelatih rutin. Di SMP dan SMA tempatnya menamatkan sekolah, Falastri diundang menjadi guru tari.
”Ketakutan kami, kalau dia cepat menikah tidak ada lagi yang mengajar anak-anak muda di sini menari,’’ kata Gunaria, ketua Rumah Budaya Paer Lenek.
Apa yang dikatakan Gunaria beralasan. Dalam beberapa kali pementasan dan latihan tari di Lenek, Falastri selalu berada di posisi ganda. Menjadi pelatih sekaligus penari. Dia juga sibuk melihat dan mengevaluasi gerakan-gerakan temannya. Itulah sebabnya, dalam urusan merias pakaian yang akan dikenakan, Falastri selalu paling akhir. Dia harus memastikan kostum yang dikenakan para rekannya sudah sesuai dan memudahkan mereka menari.
Menari untuk Hidup
Keluarga Falastri adalah keluarga seniman, khususnya tari. Falastri sendiri belajar menari langsung dari ibunya Kamiwati, 57 tahun. Di usia mudanya, Kamiwati adalah penari idola di Desa Lenek. Tidak hanya menari di kampung halaman saja, tapi dia telah berkeliling NTB, bahkan beberapa kali pentas ke luar NTB. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Kamiwati masih tetap bisa menari dan membimbing anak-anak remaja di desanya. Semangat ibunya inilah yang membuat Falastri tetap semangat menekuni tari.
Falastri mulai serius berlatih menari sejak kelas 2 SD. Sepulang sekolah dia langsung digembleng ibunya. Kadang, Falastri merasa masa-masa kecilnya bermain bersama teman sebaya direnggut. Tiada hari tanpa menari. Untungnya dalam latihan menari kadang ada teman sebaya yang ikut. Jadilah aktivitas Falastri, pagi – siang sekolah, sore-malam latihan tari. Di usia yang masih belia saat itu, Falastri pun sudah kerap tampil di depan umum.
Falastri sempat berpikir, untuk apa menari. Bukankah lebih enak bermain bersama teman-teman sebaya. Jalan-jalan menikmati alam persawahan Lenek yang masih hijau.Tapi sang ibu tetap memaksa Falastri latihan menari.
Ketika duduk di bangku SMP, dia menganggap ibunya semakin gila. Tiada hari tanpa menari. Dia pun menari setiap hari. Seminggu dia bisa menguasai satu tarian baru. Cukup dengan mendengar awal musik pengiring, dia sudah tahu tarian apa yang dia bawakan.
Falastri mulai jenuh. Dia ingin berontak, mau berhenti menari. Dia bosan juga melihat ibunya menari. Keluar rumah, keluar desa menjadi penari. Hingga suatu saat Falastri mendapatkan jawaban langsung dari ibunya: hanya lewat menari keluarga mereka mendapatkan uang untuk makan.
Falastri juga tidak tahu, jika selama ini dia makan, mendapat uang belanja dari hasil menari ibu dan kakaknya Eliarisanti. Kakaknya juga membantu sang ibu memenuhi hidup keluarga. Itu pula yang membuat kakaknya memutuskan berhenti kuliah. Uang hasil menari tidak cukup dibagi untuk kebutuhan sehari-hari, biaya kuliah, dan transportasi ke kampus.
”Keluarga saya tidak punya sawah atau modal untuk usaha. Jadi kami, kakak saya, dan ibu saya menari untuk bisa hidup,’’ katanya.
Kini, ketika ibunya beranjak tua, Falastri lah yang mencari nafkah. Apalagi ayahnya sudah tiada. Honornya menjadi penari dan pelatih tari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak memiliki usaha lain atau hasil kebun untuk dijual lantaran tidak memiliki sepetak tanah, kecuali tanah tempat rumah sederhana mereka berdiri. Sementara sang ibu, di usianya 57 tahun, sudah tidak sekuat dulu lagi. Dia tidak bisa berpergian jauh, gerakannya tidak segemulai dulu.
* tulisan saya ini pernah diterbitkan di harian Lombok Post. Saya tidak memiliki catatan tanggal dan bulan terbitnya, tapi kira-kira sekitar 5 tahun lalu.