Humaniora

Teater Kemidi Rudat Bertahan di Tengah Gempuran Modernitas

Kemidi Rudat “Setia Budi” Dusun Terengan, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara (KLU), adalah satu-satunya kemidi rudat yang tersisa di Lombok. Berbeda dengan pentas rudat lainnya, kelompok ini juga menampilkan teater yang melengkapi penampilan mereka. Itulah sebabnya, kelompok kesenian/teater tradisional ini disebut kemidi rudat.

********

12 orang pemain rudat muncul dari belakang panggung arena terbuka Taman Budaya Mataram pada sebuah pementasan. Di depan mereka, dua lelaki, yang menjadi pemimpin membawa pedang. Mereka mengenakan pakaian ala tentara berwarna hitam. Sementara di belakang mereka, para penari yang mengenakan seragam berwarna biru.

Diawali dengan lagu ucapan selamat datang, para pemain ini mengayunkan langkah, dan gerak rudat. Di samping panggung, kelompok musik pengiring, yang lebih senior menabuh musik pengiring. Langkah, lagu, dan musik pengiring memecah malam yang sorenya diguyur hujan.

Selamat datang kami ucapkan // Kepada semua bapak-bapak sekalian // Kami Rudat kampung Terengan // Semoga kiranya bapak-bapak memberikan bimbingan

Langkah gerak kami tentu banyak kekurangan // Belajar pada guru yang tidak berpengalaman // Permainan kami ini dalam pementasan // Permainan kami sekadar jadi hiburan

Wahai bapak-bapak saudaraku yang serumpun // Akhirulkalam assalamualaikum

Lagu pembuka ini selanjutnya mengiringi gerakan dalam tarian rudat. Gerakan yang lebih mirip dengan bela diri. Ayunan tangan, kaki, dan sesekali atraksi pedang pemain yang berdiri di barisan depan, persis seperti sebuah pertunjukan silat.

Setelah tarian pembuka, yang dimainkan ketika baru tiba di atas panggung, dilanjutkan dengan atraksi baris berbaris. Pemimpin regu mememberikan aba-aba dengan bahasa Belanda dan bahasa Arab. Pimpinan kelompok Kemidi Rudat Setia Budi Terengan, Zakaria mengungkapkan, dia sendiri tidak tahu apa arti bahasa Belanda dan bahasa Arab itu. Dia menerima kata-kata itu dari orang tuanya, dari kakenya, yang juga pemain Kemidi Rudat.

“Kami yang sekarang ini generasi keempat dan generasi kelima,’’ kata Zakaria.

Dari pakaian yang dikenakan pemain Kemidi Rudat, sudah terlihat jelas pengaruh timur tengah. Mengutip buku ensiklopedia musik dan tari daerah NTB, Murahim dalam  tesisnya berjudul Ekspresi Nilai-Nilai Budaya Sasak Kemidi Rudat Lombok (Perspektif Hermeneutika) menyebutkan bahwa kesenian rudat merupakan perkembangann dari sikir saman dan burdah yang keduanya bersumber dari Arab. Itulah sebabnya, pada sebuah Festival Zikir Saman pada tahun 2012 silam, kelompok Kemidi Rudat Setia Budi diundang ke Jakarta. Kemidi Rudat ini dianggap sebagai “saudara” sikir saman.

Dari pakaian dan lagu-lagu yang dinyanyika ketika memainkan rudat, mudah dikenali pengaruh timur tengah. Bahkan sebagian lagunya juga menggunakan bahasa Arab. Ada juga yang berbahasa Melayu, tapi dalam nuansa timur tengah.  Begitu juga dengan pakaian pemain, baik pada penari dan pemain teater, sangat kental corak timur tengah.

Gambar bulan di atas topi pimpinan rudat, seperti pada lambang negara Turki. Begitu juga pakaian yang dikenakan, seperti pasukan tentara kerajaan timur tengah. Begitu juga dengan pakaian para pemain teater, sangat kental timur tengah. Nama-nama pemain, nama kerajaan, bentuk senjata, juga mengingatkan pada kisah Aladin yang pernah disaksikan di layar TV.

Kemidi Rudat Setia Budi Terengan ini bisa dikatakan kelompok terakhir yang masih mempertahankan bentuk aslinya. Jika selama ini, rudat hanya dikenal dengan musik, tari, dan lagu, maka di Kemidi Rudat ini ada pementasan teater di dalamnya. Pemain teater ini adalah penari rudat sendiri. Dalam dialognya pun sesekali diselingi lagu-lagu yang iramanya sama dengan lagu ketika memainkan tarian rudat.

“Cikal bakalnya kelompok ini sejak zaman penjajahan Belanda,’’ kata Zakaria menuturkan sejarah kelompok ini.

*****

“Setelah pemain tarian rudat menyelesaikan pertunjukan mereka, dimulailah pementasan berikutnya, pertunjukan teater. Teater (kemidi) inilah yang membedakan kelompok rudat di tempat lain dengan kemidi rudat”.

Dari balik panggung muncul seorang pria mengenakan baju biru. Di bagian depannya, warga keemasan melambang perhiasan yang dipakai. Di kepalanya bertengger mahkota. Sambil menari dan menyanyi pria itu mengenalkan diri sebagai Maha Raja Indra Bumaya yang memerintah di Negeri Ginter Baya. Dalam perkenalannya, sang raja memiliki seorang putri bernama Putri Indra Dewi, 1 orang perdana menteri, 1 hulubalangm dan Jongos.

Dalam empat adegan berikutnya, sang raja berdialog dengan Jongos, hulubang dan perdana menteri, putrinya. Isi dialognya tentang pujian terhadap sang raja.

Teater Kemidi Rudat Bertahan di Tengah Gempuran Modernitas

Pada babak kedua, giliran kemunculan Sultan Ahmad Mansyur, sang Sultan dari Negeri Puspasari. Di dalam perkenalannya, dia memiliki putra bernama Putra Ibrahim Basari, seorang wazir, seorang pahlawan, dan Khadam.

Dialog yang dua raja ini sama. Mereka berdialog dengan pembantunya tentang pujian, keberhasilan yang mereka buat. Dalam dialog itu diselingi tarian, dan nyayian. Selain itu dalam setiap adegan, Jongos dan Khadam menjadi daya tarik tersendiri. Merekalah juru kocok perut penonton. Jongos da Khadam membuat pementasan menjadi lucu.

Melihat nama-nama pemain, kerajaan, dan pakaian para pemain yang melambang peran yang dibawakan, tampak jelas jika kemidi rudat ini dibawa dari negeri timur tengah. Para tokoh, setting lokasi, dan cara dialognya mengingatkan pada pembacaan naskah saat orang nyaer.

Dalam cerita yang dibawakan, banyak pesan moral yang disampaikan. Pesan itu misalnya tentang pentingnya menuntut ilmu. Ini misalnya terjadi ketika Sultan Ahmad Mansyur meminta putranya Putra Ibrahim Basari untuk pergi menuntut ilmu.

‘’ Begini ya anakku, mengingat usia ayahanda yang sudah semakin tua, ayahanda ingin engkau pergi menuntut ilmu anakku,’’ pesan sang Sultan pada putranya dalam agedan keempak di babak kedua.

Akhirnya sang putra pergi juga berguru. Namun di dalam perjalannya, dia bertemu dengan Putri Indra Dewi. Dalam pertemuan mereka itu muncullah bibit cinta. Syair-syair yang dibawakan keduanya menggambarkan jika dua muda-mudi yang sebenarnya orang tua mereka bermusuhan itu telah menyatu batin mereka.

Singkat ceritanya, permusuhan antara Maha Raja Indra Bumaya dengan Sultan Ahmad Mansyur memuncak. Keduanya terlibat pertarungan berdarah. Maha Raja Indra Bumaya menang. Dia menewakan Sultan Ahmad Mansyur.

Putra Ibrahim Basari pun balas dendam atas kematian bapaknya. Dalam pertarungan dengan Maha Raja Indra Bumaya dia menang. Sang raja tewas di tangannya. Lalu adegan Putri Indra Dewi berlari menangisi kematian ayahnya yang tewas, mengaduk emosi penonton. Apa selanjutnya  yang terjadi dengan kisah cinta antara Putri Indra Dewi dengan Putra  Ibrahim Basari, pembunuh ayahnya sekaligus kekasihnya.

Cerita pun berakhir bahagia, sang tuan putri mau menerima lamaran Putra Ibrahim Basari dengan syarat, kedua kerajaan yang bermusuhan itu harus disatukan.

 

Peran yang Diwariskan

Begitu memasuki panggung pementasan, semua penonton tertawa.  Gaya berjalan, riasan wajah, dan gaya berbicaranya tak mampu menahan tawa penonton. Itulah sosok Jongos. Di dalam peran teater kemidi rudat, dia adalah pesuruh Maha Raja Indra Bumaya yang memerintah di Negeri Ginter Baya.

Sesekali sosok Jongos ini berinteraksi dengan penonton. Bahkan dia bisa berimprovisasi dengan penonton yan hendak mengambil gambarnya. Bergaya bak seorang artis, dengan tingkat lucu, membuat terpingkal penonton. Anak-anak yang menyaksikan pementasan kemidi rudat, makin lama makin mendekat ke panggung. Mereka tertarik dengan sosok Jongos.

Walaupun hanya pemeran pembantu, sosok Jongos lah yang membuat pementasan lebih meriah. Jongos yang membuat pementasan kisah Negeri Gintar Baya dan Negeri Puspasari lebih hidup. Tingkah lakunya, gaya bicaranya membuat pementasan terasa segar dan tidak membosankan.

“ Pementasan di kampung, sosok Jongos ini menjadi idola,’’ kata Ketua Kelompok Kemidi Rudat Setia Budi, Zakaria, yang berperan sebagai Maha Raja Indra Bumaya.

Lantaran pentingnya sosok Jongos ini, mencari peran Jongsos harus ekstra ketat. Tidak sekadar harus kuat mental dan bisa bermain teater, tapi juga harus bisa melucu. Biasanya, para senior menyeleksi sejak kecil. Akan terlihat anak-anak yang berpotensi menjadi lucu. Pilihan Jongos pun jatuh pada Sabaruji. Sehari-hari pemuda ini adalah buruh serabutan.

Jika Jongos sosok yang lucu, maka peran Putri Indra Dewi pun harus memiliki paras ayu. Di dalam lakon ceritanya, putri ini digambarkan sangat cantik dan baik hati. Pilihan putri jatuh pada Deni Rukmana, anak gadis dari Terengan yang masih duduk di bangku SMA.

Kelucuan Jongos dan kecantikan Putri Indra Dewi seperti sebuah seleksi alam.  Kelucuan Sabaruji diwariskan dari kakeknya, Umar. Kakeknya, ketika masih muda adalah peran Jongos. Melihat penampilan Sabaruji, para generasi tua akan mengingat Umar.

Teater Kemidi Rudat Bertahan di Tengah Gempuran Modernitas

Begitu juga dengan wajah ayu yang dimiliki Deni Rukmana. Wajah yang layak untuk memerankan putri cantik jelita itu diwariskan dari ibunya, Rukaiyah. Kebetulan juga ibunya, ketika masih gadis berperan sebagai Putri Indra Dewi.  Baik Sabaruji dan Deni Rukmana, banyak belajar peran dari orang tua mereka yang pernah memerankan tokoh yang kini dipercayakan pada mereka.

Zakaria, yang berperan sebagai Maha Raja Indra Bumaya juga mewariskan peran itu dari kakeknya, Arsah. Ketika muda, Arsah adalah pemeran tunggal raja yang terkenal sombong itu. Begitu juga dengan peran Sultan Ahmad Mansyur yang diperankan Yatim. Peran itu diwarisi dari bapaknya, Sabarudin.

“Memang rata-rata seperti itu, peran kakek, bapaknya akan menurun ke anak atau cucu. Begitu juga di pemain musik, dulu orang tua mereka juga pemusik di kelompok ini,’’ kata Zakaria.

Proses transfer pengetahuan dan keterampilan itu bukan sekadar melalui sanggar, tapi dari rumah sendiri. Zakaria sejak kecil juga sudah terbiasa berlatih dari kakeknya. Begitu juga dengan pemain lainnya, mereka berlatih dari orang tuanya.

Regenerasi kemidi rudat ini juga memungkinkan dari generasi ke generasi lantaran mereka tinggal di satu kampung, Dusun Terengan. Bukan sekadar satu dusun, tapi banyak diantara pemain ini tinggal di satu kompleks. Mereka bertetangga, ada hubungan kekeluargaan. Saya pernah menyaksikan langsung suasana latihan dan persiapan pentas di kampung halaman mereka.

Kegiatan berkesenian sudah menjadi bagian dari masyarakat Terengan. Ketika akan ada pementasan, warga lainnya, yang bukan menjadi pengurus atau anggota sanggar, dengan ikhlas membantu. Ada yang membantu mengangkat perlengkapan, membantu menyiapkan panggung. Ada juga yang membawakan kopi bagi pemain. Semua dilakukan secara sukarela, tanpa perintah. Seperti ketika orang Lombok menggelar begawe (pesta) secara tradisional. Masing-masing orang memegang peran sesuai dengan kemampuannya.

Kegiatan berkesenian warga Terengan ini tidak sekadar pada kemidi rudat. Kemidi rudat hanya satu diantara beberapa kegiatan yang tergabung dalam Sanggar Panca Pesona. Sesuai namanya, ada panca (lima), ada lima kegiatan utama di kelompok ini. Mereka mengembangkan rudat, barzanji, membaca hikayat (bekayat), teater kemidi, dan tilawatil quran. Jangan heran, ketika berkunjung ke Terengan, akan menjumpai anak-anak yang mengaji pada siang/sore hari, setelah bubar latihan atau menonton kemidi rudat. (*)

Previous post

Liburan Sunyi di Pulau Tak Berpenghuni

Next post

Perjuangan Mantan Buruh Migran Hidup Mandiri

Fathul Rakhman

Fathul Rakhman

No Comment

Leave a reply