Teater Rudat Melawan Rentenir
Praktik rentenir yang dikenal dengan istilah bank rontok marak terjadi di desa-desa. Untuk melawan gerakan bank rontok itu, perbankan yang teregulasi (resmi) harus turun ke kantong-kantong operasi bank rontok itu. Sebagai langkah sosialisasi, teater tradisional Rudat dipilih sebagai sarana menyadarkan masyarakat bahanya bank rontok.
*********
Alkisah di sebuah tempat bernama Kerajaan Bunut Jengkang hidup sepasang suami istri dengan putri tunggal mereka. Sang suami Amaq Kelor adalah petani miskin yang mengandalkan hidup keluarganya dari hasil sawah yang tak seberapa luasnya. Sementara istrinya, Inaq Kelor hanya mengurus rumah tangga.Tak memiliki pekerjaan sampingan untuk membantu ekonomi keluarga. Putri mereka si Kelor adalah gadis yang baru beranjak remaja. Hidup keluarganya yang miskin, berbanding dengan gaya hidup Kelor. Perangkat gadget terbaru selalu di tangannya. Hingga suatu sore dia merengek ingin dibelikan sepeda motor.
Kegagalan panen tahun itu, dan keinginan memenuhi kebutuhan sang buah hati membuat Amaq Kelor memutuskan menjadi buruh migran. Malaysia adalah pilihan utama bagi pria kampung yang tak mengenyam bangku pendidikan.
Masalah baru muncul. Sebelum berangkat Amaq Kelor membutuhkan uang. Sebagai petani miskin dia tidak memiliki tabungan. Malahan untuk makan sehari-hari saja kesusahan.
Amaq Kelor tidak tahu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan modal berangkat ke Malaysia, Inaq Kelor meminjam di rentenir. Pria yang selalu berpenampilan necis masuk kampung itu membuat Inaq Kelor yakin untuk meminjam uang. Apalagi syaratnya mudah : setuju dengan bunga yang dipasang rentenir. Tidak ada jaminan. Hanya modal kepercayaan.
Uang yang dipinjam di rentenir itu rupanya bertumpuk. Bunganya membengkak. Nyaris dua kali lipat dari jumlah pinjaman asli. Karena Inaq Kelor tidak mampu melunasi, dan Amaq Kelor juga harus segera ke Malaysia, mereka pun menerima persyaratan si rentenir, rumah mereka menjadi jaminan. Amaq Kelor berangkat ke Malaysia dengan beban bertumpuk utang di rentenir.
“Bagaimana saya mau minjam di bank, saya tidak punya jaminan,’’ keluh Inaq Kelor ke Jongos saat ditanyakan kenapa dia tidak meminjam di bank.
Potret keluarga Amaq Kelor adalah potret sehari-hari masyarakat di desa. Melalui peran yang dibawakan Jongos, dia panjang lebar berbicara tentang operasi bank rontok. Bank rontok beroperasi di pasar.Beroperasi di kampung-kampung terpencil. Beroperasi di sawah, dan datang door to door ke rumah warga. Keluarga buruh migran adalah sasaran berikutnya bank rontok.
Kisah hidup keluarga Amaq Kelor ini merupakan cerita inti dari naskah drama “Kepeng Benang Bunut Jengkang” yang dipentaskan Sabtu malam (8/4) di Penyonggok, Desa Tetebatu Selatan, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur. Desa Tetebatu Selatan adalah salah satu kantong buruh migran di Lombok. Termasuk juga, kantong banyaknya kasus pernikahan usia dini dan bertebaran “janda muda”. Belum ada data resmi, tapi menjadi cerita umum di masyarakat, Tetebatu yang kemudian mekar menjadi Tetebatu Selatan terkenal tingginya kasus kawin-cerai di usia muda.
Drama yang dipentaskan oleh kelompok Rudat, teater tradisonal Sasak malam itu ingin mengingatkan masyarakat tentang bahaya meminjam uang di bank rontok. Termasuk juga menitipkan pesan agar masyarakat meminjam uang di bank yang sudah dijamin.
Kisah keluarga Amaq Kelor bukanlah cerita rekaan. Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI) Lombok Timur yang intens mendampingi buruh migran sering mendapati kasus seperti keluarga Amaq Kelor. Keluarga terlilit utang rentenir, suami menjadi buruh migran ke Malaysia, istri menjadi buruh migran ke Timur Tengah untuk melunasi utang. Harapan bisa memperbaiki ekonomi keluarga hanya menjadi mimpi. Uang hasil bekerja habis untuk membayar utang, uang kiriman (remitance) habis untuk membeli kebutuhan yang sebenarnya tidak penting. Saya beberapa kali terlibat di program ADBMI Lombok Timur. Temuan di lapangan, cerita Amaq Kelor itu benar adanya.
Ini seperti lingkaran setan. Keluarga petani miskin dan buruh migran berutang di bank rontok untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak mampu membayar utang berangkat menjadi buruh migran, yang untuk menambah ongkos menjadi buruh migran kembali meminjam di bank rontok. Kiriman uang habis untuk membayar bunga utang bank rontok. Keluarga petani miskin dan buruh migran terjebak dalam sistem yang dibangun bank rontok.
“Bank rontok itu sudah berpuluh-puluh tahun praktiknya. Memangkas itu butuh pendekatan lama dan tepat,’’ kata Habib, aktivis ADBMI Lotim yang ikut menyusun naskah drama yang dipentaskan. Lulus dari Universitas Hamzanwadi, saya mengenal Habib sejak mahasiswa aktif dalam advokasi dan komunitas sastra.
Rudat dipilih karena kesenian ini paling dekat dengan masyarakat. Peran yang dimainkan Jongos dan Khadam mampu mengocak perut penonton. Selain itu, raja dan permaisuri ibaratnya pemerintah yang memimpin. Dialog-dialog mereka berisi percakapan para pejabat pemerintah tentang solusi mengatasi bank rontok. Rapat-rapat para pejabat itu sayangnya sering hanya berputar di lingkaran kantor dan ruang rapat hotel. Sementara di tengah masyarakat, para operator bank rontok masih dengan gagahnya meyakinkan calon klien mereka. Di akhir kisah keluarga Amaq Kelor, ternyata Inaq Kelor tidak berutang di satu bank rontok. Dia juga berutang di tokoh masyarakat kampungnya, yang juga tertarik usaha membiakkan uang dengan sistem bank rontok.
******
Sabrun, 26 tahun, tersenyum melihat riasan wajahnya dari balik cermin. Bibir jewer layaknya tokoh Joker dalam film Batman. Bedanya, jika riasan Joker tampak seram, riasan Sabrun membuat wajahnya tampak lucu. Kain dililitkan di kepala seperti surban, bertelanjang dana,mengenakan sarung yang di pinggangnya terselip handphone. Menari lincah dan memainkan wajahnya yang dioles bedak tebal membuat penonton terpingkal. Baru naik panggung saja, warga yang menyaksikan langsung tertawa. Anak-anak memanggil namanya. Sabrun, warga Penyonggok, Desa Tetebatu Selatan, Kecamatan Sikur tempat pentas berlangsung mampu menghibur penonton.
Celetukan-celetukan dari tokoh yang dimainkannya, Khadam, terlihat mengalir alami. Saat dialog bersama Jongos, Khadam berbicara soal bebalu (janda), bicara soal buruh migran, gosip tetangga di kampung dan ucapan-ucapan yang bisa nyerempet “ngeres” pun dibawakan seperti biasa.
Sabrun,yang sehari-hari buruh tani itu mampu membawakan naskah itu dengan baik. Sabrun yang bukan pemain teater, bukan anggota sanggar seni, tetapi buruh tani yang menggarap tanah milik tuan tanah di kampungnya membawakan naskah dengan serius. Ketika dia membaca naskah, dia merasa naskah itu hidup. Naskah Kepeng Benang Bunut Jengkang itu tak jauh dari kehidupan sebenarnya masyarakat Desa Tetebatu Selatan. Kisah sebenarnya dari Sabrun.
“Saya sudah dua kali jadi TKI, dan gagal,’’ kata Sabrun bercerita.
Sabrun, pemuda yang menamatkan pendidikannya di sebuah madrasah aliyah swasta di kampungnya tidak punya pilihan lain. Tidak ingin menganggur lama, Sabrun memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Sebenarnya tidak ada niat awal menjadi buruh migran. Tapi para pemuda di kampungnya sudah banyak yang menjadi buruh migran. Sebagian berhasil membangun rumah dari hasil menjadi buruh migran. Sabrun tertarik melihat keberhasilan orang-orang kampungnya yang lebih dulu menjadi buruh migran. Sabrun memang tahu ada juga cerita pilu, tapi terbayang uang yang akan dibawa pulang, Sabrun muda berangkat ke Malaysia.
Dia bekerja di perkebunan kelapa sawit. Dia cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja. Saat gajian tiba menjadi hari paling bahagia. Sebagian gaji itu dipakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sebagian dikirim ke kampung halaman untuk ditabung.Sebagian dipakai untuk melunasi utang keluarga. Tentu saja saat berangkat ke Malaysia, keluarga Sabrun harus menalangi ongkos. Ongkos itulah yang harus dicicil. Sudah lumrah di para buruh migran di kampung halamannya.
Sebagai keluarga baru, kebutuhan hidup bertambah. Sabrun memutuskan kembali ke Malaysia. Kali ini dia ditawarkan bekerja di perusahaan lapangan golf. Sabrun awalnya berat hati, istrinya sedang hamil tua. Tapi bayangan kebutuhan melahirkan dan membesarkan anak, Sabrun akhirnya berangkat melalui seorang tekong yang masih kerabatnya.Karena bosan dan merasa gaji tidak membaik, Sabrun pulang kampung. Tabungan selama menjadi buruh migran tidak banyak.Tapi setidaknya dia punya pegangan. Sabrun menikah. Uang selama menjadi buruh migran dipakai membiayai pernikahan itu, dan biaya hidup keluarga baru itu.
Sesampai di Malaysia barulah Sabrun sadar. Dia menjadi korban perdagangan orang. Dia memang bekerja di perusahaan lapangan golf, tapi bukan lapangan golf yang mentereng seperti bayangan awalnya. Bosnya di Malaysia baru berencana membuka lapangan golf. Pekerjaan Sabrun membuka hutan, membabat semak untuk lapangan golf. Gajinya hanya 300 ringgit Malaysia. Paspornya ditahan. Dari mulut bosnya dia tahu jika tekong yang memberangkatkannya mendapatkan uang jauh lebih besar dari gajinya. Sabrun yang menamatkan pendidikan di madrasah aliyah sadar jika dia ditipu. Dia sadar menjadi korban perdagangan manusia.
“Saya mengancam makanya bisa dapat paspor saya dan langsung pulang,’’ tuturnya.
Sabrun pulang dengan tangan hampa. Di kampung halaman, dia disambut istri dan anaknya. Sabrun menjadi bapak. Kini Sabrun bekerja sebagai buruh tani. Dia mengelola sawah milik seorang petani di kampungnya. Dari hasil buruh tani itulah Sabrun menghidupi keluarganya.
Sabrun sebenarnya ingin bekerja sendiri. Memiliki lahan dan menggarap sawah milik sendiri. Apa daya tak cukup uang untuk menggapai mimpi itu. Cabai yang dia tanam pada musim tanam baru-baru ini pun tak banyak memberikan keuntungan. Saat harga cabai melambung, angin besar dan hujan merusak tanaman itu.
“Untung saja tidak rugi,’’ katanya.
menonton dari balik jendela rumahKisah hidup Sabrun mirip dengan naskah yang dia pentaskan malam itu. Saya mengenal Sabrun sejak dia masuk duduk di bangku SMP. Ketika dia duduk di bangku aliyah, dia sering terlibat dalam beberapa kegiatan komunitas yang saya dirikan bersama kawan di Tetebatu. Tapi karena pekerjaan, saya agak jarang berkomunikasi dengan Sabrun dan kawan-kawan di komunitas itu. Bertahun-tahun tidak bertemu, saya bertemu Sabrun di pentas malam itu.
Kisah yang dipentaskan malam itu kisah orang-orang di Tetebatu. Bedanya, kisah Amaq Kelor yang di dalam naskah Kepeng Benang Bunut Jengkang itu dikisahkan gagal panen lalu berangkat ke Malaysia. Ketika menggarap tanahnya, biaya pupuk, bibit dan kebutuhan sehari-hari didapatkan dari pinjaman. Pinjaman dari rentenir itulah yang harus dia lunasi. Sementara Sabrun karena gagal di Malaysia kemudian kembali ke kampung halaman bertani. Karena pengalaman pahit menjadi korban penipuan/perdagangan manusia jua yang membuat Sabrun berpikir berkali-kali untuk kembali ke Malaysia.
Petani miskin yang modal pas-pasan dan para buruh migran adalah dua kelompok sasaran empuk rentenir. Para buruh migran yang akan berangkat ke Malaysia umumnya tidak menyiapkan diri jauh sebelumnya. Mereka berangkat mendadak ketika terdesak kebutuhan rumah tangga. Karena tidak menyiapkan jauh hari sebelumnya, ketika berangkat mereka tidak memiliki modal cukup.Apalagi tabungan untuk bekal hidup anak istri di rumah. Meminjam uang di kerabat adalah solusinya. Paling apes jika meminjam di bank rontok. Siap-siap harus membayar bunga yang mencekik. Tapi para petani miskin dan buruh migran itu tidak punya pilihan. Seperti penuturan Inaq Kelor, jika meminjam di bank apa yang harus dia jaminkan. Sementara di bank rontok cukup modal kepercayaan. Apakah perbankan bisa melakukan seperti itu ?
Sayangnya dalam naskah yang dipentaskan itu tidak ada solusi untuk menjawab kegelisan Inaq Kelor. Jika dia meminjam di bank apakah bisa tanpa jaminan seperti meminjam di bank rontok. Walaupun belakangan bank rontok bertindak kejam dengan menyita rumah mereka.
Daya jelajah perbankan memang tidak setangguh para pekerja lapangan bank rontok. Mereka door to door. Seperti bahasa Jongos : di tengah sawah, di saluran irigasi bank rontok itu ada. Mereka mencari petani-petani miskin yang butuh duit cepat. Bank rontok menyelesaikan masalah. Tapi bank rontok menimbulkan masalah baru.
Di dalam naskah itu, berusaha ditampilkan bahwa menabung di bank lebih aman jika dibandingkan menyimpan uang di rumah. Pesan itu memang dimasukkan dalam cerita agar para keluarga buruh migran mau menyimpan uang mereka di bank. Selama ini uang kiriman hanya lewat di bank, diambil semua, kemudian disimpan di dalam rumah. Selain rawan hilang dan pencurian, jika memegang uang cash godaan untuk belanja cukup besar.
Jika dikelola dengan baik, uang kiriman (remitance) itu sebenarnya bisa menjadi modal usaha. Baik modal bagi istri yang tinggal di rumah. Dan kelak ketika suami kembali di Malaysia ada hasil yang dilihat, baik berupa uang tabungan maupun usaha. Saat ini ADBMI Lotim mengadvokasi para keluarga buruh migran dan eks buruh migran di desa-desa yang berbatasan dengan hutan. Saya kembali terlibat dalam kegiatan ini. Ada kekhawatiran kami, eks buruh migran bisa menjadi pelaku illegal logging. Karena itulah ADBMI Lotim mendampingi agar mereka memiliki usaha produktif. Apakah Anda mau mendampingi mereka ?
No Comment