BeritaInspirasiTeaser

Salman Alfarisi, Mantan TKI Kini Jadi Dosen di Malaysia

Salman Alfarisi membuktikan pepatah ”rajin pangkal pandai” bukan isapan jempol. Lahir dari keluarga buruh tani miskin, namun ia selalu menjadi bintang kelas sejak sekolah dasar (SD)  hingga menyelesaikan studi doktor (S3). Perjalanan hidupnya, bisa menjadi inspirasi bagi putra putri NTB, bahwa kemiskinan bukan menjadi halangan berprestasi. Pendidikan pula yang mengeluarkan keluarga Salman dari jeratan  kemiskinan. Pernah menjadi buruh migran di Malaysia, kini Salman menjadi salah satu dosen di sebuah kampus ternama di Malaysia.

 

*********

Hari itu, tahun 1995, menjadi hari bersejarah dalam kehidupan Salman Alfarisi. Peristiwa pada 1995 itu menjadi babak baru dari kehidupan Salman. Dialog pada 1995 terbukti saat ini. Apa yang diyakini Salman dan petuah dari sang guru, mengubah garis kehidupannya.

Salman yang sedari kecil menghabiskan waktu di pondok pesantren (ponpes), tiba-tiba berbalik arah ketika menginjak dewasa. Salman yang saat itu kuliah di Ma’had Darul Quran Hadits (MDQH) NW di Pancor, berani keluar dari ponpes untuk menimba ilmu di bidang seni, ilmu yang digandrungi sejak remaja. Kini Salman Alfarisi adalah satu-satunya akademisi yang meraih gelar doktor dalam bidang kajian budaya. Dia adalah orang Lombok pertama yang meraih gelar akademik ini.

”Saat saya menghadap hari itu, Maulanasyeikh (TGKH M Zainuddin Abdul Madjid) bilang kepada saya: pergilah, itu adalah tempatmu,’’ kenang Salman saat menghadap kepada pendiri Nahdlatul Wathan (NW) itu ketika meminta izin keluar dari MDQH untuk menuntut ilmu di bidang seni pada 1995.

Sebelum menghadap Maulanasyeikh, Salman sempat meminta izin pada guru-gurunya di ma’had. Tapi mereka melarang. Bahkan dengan sedikit nada ancaman, jika Salman keluar dari ma’had, keberkahan ilmu yang diperolehnya akan hilang. Salman muda yang gelisah dengan keinginannya itu akhirnya menghadap ke guru tertinggi di ma’had. Alangkah terkejutnya Salman ketika mendengar jawaban Maulanasyeikh.

”Beliau tidak pernah menonton sekali pun kegiatan berkesenian saya, tapi beliau bilang saya cocok dengan dunia itu. Beliau akhirnya melepas saya,’’ kata Salman.

Salman jatuh cinta pada seni, khususnya teater sejak duduk di bangku madrasah tsanawiyah (MTs). Di bangku madrasah aliyah (MA), kecintaannya pada teater makin menjadi-jadi. Di sela-sela kegiatan sekolahnya, Salman aktif mengikuti kegiatan seni. Puisi adalah salah satu bidang yang digandrungi. Seperti para remaja pada umumnya, Salman mencintai kata-kata romantis. Tembok asramanya di kompleks Ponpes NW di Pancor, penuh coretan kata-kata  puitis.

Setamat MA, Salman langsung kuliah di MDQH. Ma’had ini setara dengan perguruan tinggi. Tapi kurikulumnya 100 persen kurikulum ponpes. Ilmu yang dipelajari murni berasal dari kitab-kitab klasik. Pelajaran agama menjadi menu sehari-hari. Pagi hingga malam hari, tidak pernah lepas dari Alquran dan kitab-kitab kuning. Para alumni ma’had disiapkan menjadi juru dakwah NW. Ma’had adalah ”sekolah ideologis” NW.

Walaupun sibuk dengan kitab kuning, kecintaan Salman pada dunia seni tidak hilang. Dia tetap latihan teater sembunyi-sembunyi, pada malam hari. Kadang Salman dan teman-temannya latihan tengah malam agar tidak diketahui para gurunya.

Suatu hari, di tahun keduanya di ma’had, Salman tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya. Pada suatu hari dia memberanikan diri untuk meminta izin, menampilkan kelompok teater ma’had. Dalam sejarahnya, itu kali pertama mahasiswa ma’had memiliki kelompok teater dan melakukan pentas.

Hari itu kelompok teater yang dipimpin Salman pentas di Taman Budaya Mataram. Malam pementasan itu, ditonton oleh Gubernur NTB saat itu Warsito. Ada juga tamu dari konsulat Amerika. Salman, bersama kelompok teater itu mementaskan lakon yang dibuat sendiri oleh Salman. Berisi kritikan kebijakan pemerintah terhadap pembagian lahan di Gili Trawangan.

”Langsung menjadi heboh, karena baru kali itu para santri bersarung melakukan pentas teater,’’ tutur Salman.

Salman sempat juga ditegur oleh gurunya. Aktivitasnya berteater, bertolak belakang dengan kebiasaan di ma’had. Tapi Salman tetap kukuh dengan pendiriannya. Keyakinannya, Maualanasyeikh juga seorang ulama yang mencintai seni.

Suatu saat digelar festival teater modern di Taman Budaya Mataram. Salman dan kelompok teaternya mendaftarkan diri. Semua pemain teaternya adalah santri-santri Ponpes NW, baik yang masih duduk di bangku MA maupun ma’had. ”Kami menyabet juara umum. Semua kategori kami juara,’’ ujarnya.

Berpijak pada pengalamannya itu, Salman pun menemukan dunianya: teater. Dia merasa bidang yang cocok baginya adalah teater. Menginjak tahun ketiga di ma’had, Salman resmi mengundurkan diri dari Ponpes yang mendidiknya itu. Salman memasuki dunia baru, kampus seni di Jogjakarta.

 

Salman (pakai jas) bersama para sahabatnya saat ujian terbuka doktor di Universitas Udayana tahun 2014

Hidup Baru di Jogjakarta

Salman berangkat ke Jogjakarta bermodalkan nekat. Dia mendaftar di Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) Jogjakarta tahun 1999. Saat berangkat Salman hanya membawa diri dan pakaian secukupnya. Uang hanya sekadar cukup untuk biaya awal kuliah. Itu pun hasil tabungannya dan bantuan sahabat dan gurunya.

”Ibu saya orang yang buta huruf, pekerjaannya jualan bakulan keliling. Kadang mepes (mengambil padi sisa panen),’’ kata Salman.

Hidup dalam kemiskinan, Salman tidak pernah merasakan namanya uang kiriman. Selama kuliah di Jogja, orang tuanya tidak pernah mengirimkan uang kuliah atau sangu belanja. Salman harus memutar otak untuk mencari uang belanja dan uang kuliah.

Berbekal pengalaman teater sejak MTs, Salman aktif dalam kegiatan berkesenian di Jogja. Honor yang didapat disimpan dengan rapat. Dalam sehari, saat itu, Salman makan sekali sehari. Sering juga ”menumpang” makan di sahabat-sahabatnya yang berkecukupan.

Di lain waktu, Salman melakukan pekerjaan apa pun untuk menyambung hidup dan kuliah. Dia pernah menjadi tukang pijat panggilan dan  buruh kasar. Itu dilakoninya hingga menyelesaikan sarjana (S1) tahun 2004.

Pengalaman pahit yang diingat Salman adalah ketika kunjungan lapangan. Mau tidak mau, harus keluar ongkos menuju lokasi kunjungan. Salman yang hidup pas-pasan, sering kali meminta izin pada dosennya untuk diberikan keringanan. Sebagai konsekuensinya, Salman membantu persiapan kegiatan kunjungan itu. ”Mulai jadi tukang angkat tas sampai memijat teman-teman yang kelelahan saya lakoni. Yang penting saya bisa berangkat,’’ katanya.

Selesai S1, Salman kembali ke Lombok. Dia melakukan aktivitas berkesenian dan menulis. Dari kegiatannya itu dia mulai bisa menabung. Tidak banyak, sekadar untuk bertahan hidup.

Hingga kemudian, Salman kembali ke Jogja, mengambil program pasca sarjana di Institut Seni Indonesia (ISI). Seperti S1, selama S2 Salman juga melakoni berbagai macam pekerjaan. Hanya saja, ketika S2, Salman banyak mengerjakan kegiatan-kegiatan kreatif, tidak sekadar bekerja kasar.

Salman menulis puisi, cerpen, naskah drama, hingga novel. Dari kegiatan menulis itu, Salman mendapkan honor. Dari honor itulah dia membiayai kuliah dan hidupnya. Di samping itu, sesekali ada sahabatnya yang meminta dibantu.

Salman yang menyelesaikan S1 dengan prestasi membanggakan, tidak mengambil beasiswa ketika menempuh S2. Padahal IPK-nya saat itu di atas 3,5. Pernah ada tawaran, tapi Salman saat itu lebih memilih membiayai diri sendiri. Dia masih ingat wejangan sang guru  Maulanasyeikh, jika orang bersungguh-sungguh belajar selalu ada kemudahan. ”Kalau mau berkah dan cepat paham suatu pelajaran, maka harus mengeluarkan harta untuk itu,’’ kata Salman mengingat pesan Maulanasyeikh.

Bukan berarti pendidikan itu harus mahal  dan mengedepankan materialistik. Tapi, untuk mendapatkan ilmu itu harus penuh perjuangan. Selama hidupnya Maulanasyeikh juga melakukan itu. Para tuan guru yang pernah dikirim belajar ke Makkah, tidak gratis. Maulanasyeikh membiayai mereka. Pelajar itu juga harus membayar setengah.

”Dan Maulanasyeikh itu mempraktikkan antinepotisme. Coba lihat para tuan guru di NW yang pernah disekolahkan beliau, hampir tidak ada yang satu ikatan darah atau hubunan keluarga dengan beliau. Semua yang disekolahkan adalah santri-santri terbaik,’’ kata Salman.

Selepas S2, Salman makin produktif menulis. Pada tahun 2007, dia menertibkan novel perdananya ”Tuan Guru”. Begitu terbit, novel dengan sampul putih itu langsung menjadi kontroversi. Banyak sisi gelap dari ponpes dan tuan guru yang dibongkar. Salman dianggap terlalu emosi dan cenderung tidak objektif. Salman yang lahir dari ”rahim” ponpes, justru menguliti ponpes.

Setelah novel itu, nama Salman makin berkibar sebagai peneliti budaya. Namanya kerap dikutip. Diundang menjadi pembicara seminar, workshop, dan diskusi-diskusi kebudayaan. Dia dianggap budayawan muda kontroversi. Tidak jarang kritikannya baik dalam ucapan maupun tulisan ”menggigit” kemapanan.

Novel keduanya ”Perempuan Rusuk Dua” juga tidak kalah kritis dalam membaca kehidupan masyarakat Sasak. Lalu berturut-turut ia menelurkan novel ”Guru Dane” (2010) dan  ”Guru Onyeh” (2011). Dua novelnya ini dinilai sedikit lebih bijak dibandingkan novel pertamanya. Pada tahun 2013, Salman menertibkan ”Kenari Mentaram”. Novel ini berisi nilai-nilai keberagaman masyarakat Kota Mataram.

Lewat karya-karyanya itu, Salman kemudian dianggap sebagai budayawan Lombok. Sebagai seorang intelektual/akademisi, Salman tidak menelurkan ide-idenya itu dalam sebuah karya. Membaca novel-novel Salman, seperti membaca sejarah dan membaca sosiologi masyarakat Lombok. Sebagai seorang intelektual, Salman membuktikan diri lewat gelar doktor dalam kajian budaya yang diraihnya pada 23 Juli 2014. Pada sidang terbuka itu, Salman Alfarisi ditetapkan menjadi doktor kajian budaya dengan predikat cum laude. Salman boleh dibilang orang Lombok pertama yang meraih gelar doktor dalam bidang budaya. Dia tidak sekadar praktisi kebudayaan, dia juga akademisi.

Setelah meraih gelar doktor, Salman mengajar di Universitas Hamzanwadi Pancor. Hingga kemudian, sebuah tawaran datang ke Salman untuk menjadi tenaga pengajar di Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia. Ketika seleksi menjadi dosen terbang di UPSI, bukan tentang ijazah yang ditanyakan, Salman diminta komitmen untuk membina kesenian di kampus itu. Pihak kampus tahu, Salman bukan sekadar doktor budaya, tapi dia juga budayawan. Menulis novel, menjadi sutradara pementasan teater dan tari, menulis puisi, termasuk juga menjadi pemain teater. Kelebihan itulah yang dimiliki Salman. Salman bertanggung jawab atas kepercayaan itu. Ketika dia menjadi dosen di UPSI, dia aktif membina teater dan tari. Bahkan ketika pentas akbar di Singapura, Salman dipercaya sebagai sutradara. Salman juga membuka kerja sama mahasiswa Universitas Hamzanwadi dengan UPSI. Setiap tahun mahasiswa UPSI magang di Lombok dan sebaliknya.

 

Kritis, Tapi Sungguh Mati Cinta NW

SAMPAI saat ini novel ”Tuan Guru” masih menjadi perbincangan dan perdebatan. Banyak yang kemudian menjadi kritis terhadap kehidupan ponpes dan tuan guru setelah membaca novel itu. Salman seolah-olah menelanjangi kehidupan mereka yang selama ini selalu tampil sempurna di hadapan jamaaah.

”Kisahnya diambil dari pengalaman saya, pengalaman teman-teman,’’ kata Salman.

Dalam sebuah perbincangan, Salman membuka rahasia kisah di balik novel itu. Kisah para sahabatnya semasa di ponpes. Kisah nyata kehidupan di ponpes, yang tidak banyak diketahui orang, atau diketahui tapi segan untuk mengkritisi.

Salman memang selalu kritis melihat relasi antara tokoh agama (tuan guru), budaya (yang direpresentasikan oleh para budayawan), dan seniman (kelompok pencipta dan pelaku berkesenian). Ini pula yang menjadi idenya menulis disertasi berjudul ”Kesenian Ale-Ale sebagai Kontestasi Ideologi Masyarakat Sasak”. Di dalam disertasinya ini, tidak sedikit Salman mengkritisi kelompok agama dan budayawan. ”Saya kritik tuan guru karena saya cinta pada mereka. Orang seperti saya harus ada untuk mengingatkan, agar tuan guru tetap pada koridornya,’’ kata Salman.

Termasuk di organisasi Nahdlatul Wathan (NW) sendiri, Salman tetap kritis. Sikap kritisnya itu, kata Salman, semata-mata bukti kecintaan pada NW. Jika dalam sebuah organisasi, tidak ada sikap kritis, lambat laun organisasi menjadi mandek. Orang-orang di dalam organisasi menjadi mapan dengan kekuasaan mereka saat ini. ”Saya tidak antipolitik, tapi tidak semua orang NW harus masuk partai politik yang berafiliasi dengan NW,’’ kata pria yang pernah menolak menjadi pengurus partai politik.

Menurut Salman, organisasi akan hidup jika ada dinamika di dalamya. Nahdlatul Ulama (NU) tidak pernah kerdil lantaran banyak orang kritis di dalamnya. Justru NU menjadi lebih dikenal hingga mancanegara. Bagi Salman, NW, harus belajar pada NU dalam beberapa hal.

”Contoh kecil saja, ketika ada persoalan-persoalan di daerah atau persoalan umat, elit NW tidak pernah merespons. Dulu ketika Maulanasyeikh, kita sering diajak mendoakan umat Islam yang menjadi korban perang di Timur Tengah. Sekarang dalam isu Gaza, NW sama sekali tidak terlihat. Isu teroris di NTB, NW diam. Kalau saya jadi Ketua PW NW, saya akan konferensi pers atau membuat kecaman terhadap aksi itu,’’ beber Salman.

Kondisi NW sekarang, kata Salman, sudah jauh lebih maju dibandingkan saat dia masih menjadi santri. NW sudah tersebar ke beberapa provinsi. NW sudah menjadi ormas nasional. Banyak tokoh NW berkiprah di bidang politik, pemerintahan, bisnis, dan tidak sedikit di bidang akademik. NW harus menjadi organisasi modern, tanpa melupakan akar tradisinya. NW juga harus mengikuti semangat zaman.

”Kalau tidak mengikuti semangat zaman, akan ditinggalkan. Ponpes NW harus ditingkatkan mutunya, dan saya tetap cinta ponpes. Anak cucu saya kelak akan saya sekolahnya di ponpes,’’ kata Salman. (*)

 

 

Previous post

Musmuliadi, Guru ”Oemar Bakri” dari Bayan

Next post

Literasi Keberagaman Bersama Duta Damai NTB

Fathul Rakhman

Fathul Rakhman

No Comment

Leave a reply