HumanioraTeaser

Jaran, dan Kematian Anak-anak

Hasan Gauk

Pegiat Literasi, Pemerhati Budaya 

 

Balap jaran sudah berkembang sejak zaman Kolonial Belanda di Sumbawa Barat dan Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat. Balap jaran yang sudah berlangsung sejak lama ini menjadi salah satu objek wisata yang berubah pungsi atau tepatnya dibalut dengan nama kebudayaan. Padahal kalau kita telisik jauh lebih dalam, “joki cilik” hanyalah objek eksploitasi yang dengan apik dijadikan sebagai penunggang kuda.

Balap jaran (baca; eksploitasi anak) ini kemudian sebagai salah satu ajang paling bergengsi yang ditonton para pengusaha, pejabat, dan kalangan petaruh. Jika kuda pacu semakin sering memenangkan lomba maka nilai ekonomisnya akan semakin melejit harganya. Semakin bagus prestasi kuda, semakin mahal nilai jualnya.

Anak-anak, yang usianya masih begitu belia, “dipaksa” melawan rasa takut untuk menunggangi kuda-kuda jantan pilihan yang dimiliki oleh para pengusaha, pejabat daerah setempat, hingga kuda yang dimiliki oleh Gubernur NTB sendiri. Orang-orang dewasa berkumpul di pinggir jalan sembari berteriak, bertaruh, bersorak, hingga bertepuk tangan di pinggir-pinggir lapangan. Yang jadi sorotan mereka adalah si kuda jantan siapa yang paling apik lajunya, bukan joki cilik yang bertaruh nyawa di atas punggung kuda.

Lalu setelah balap jaran terjadi, beberapa anak-anak yang disematkan nama dengan sebutan joki cilik, tak jarang mereka mengalami patah tulang, muka cacat, tangan terkapar, bahkan yang jauh lebih parah adalah mereka harus meregang nyawa. Namun pernahkah kita berempati?

Joki cilik yang tewas setelah terjatuh di arena pacuan kuda

Bagaimana nasib joki-joki cilik yang mengalami patah tulang, mereka bahkan cacat permanen, pernahkah kita menanyakan bagaimana masa depan mereka? Kebutuhan obat dan biaya hidupnya? Pendidikan mereka terlunta-lunta, menjadi anak-anak yang tak memiliki masa depan, siapa yang bisa menjamin orang yang sebelumnya sehat kini menjadi cacat? Maka akan berbeda dengan nasib mereka yang sejak lahir mengalami kelain sejak lahirnya, mereka yang cacat itu akan terganggu mentalnya, rasa percaya diri mereka akan luntur dan bahkan mereka akan cendrung menjadi pendiam.

Lalu, masihkah kita berbangga dengan budaya balap jaran yang sudah beberapa kali mengorbankan masa depan anak-anak? Masihkah kita akan mengundang media nasional untuk meliput dan menunjukkan bahwa inilah joki cilik asal Sumbawa yang tak terkalahkan? Memberi tepuk tangan pada mereka yang belum mengalami kecelakaan? Lalu kita dengan serentak terdiam ketika melihat mereka berjatuhan saat menunggang kuda.

Kita tidak pernah bertanya, seberapa besar keuntungan mereka dari kegiatan ini, dan siapa yang menikmatinya!?

Selamat jalan, Dik. Tenanglah di Surga-Nya.

 

Previous post

ASEAN : Islam, Ekonomi, dan Moderasi.

Next post

JOKI CILIK, NASIBMU NAK

Mayung

Mayung

No Comment

Leave a reply