BeritaInspirasiTeaser

Beriuk Maju, Jaya Bersama Usaha Tempe

Susianti tidak menyangka usaha tempe yang dijalankannya bersama kakak perempuannya bakal menjadi besar seperti sekarang ini. Usaha tempe yang dikelolanya bersama kelompoknya bernama Beriuk Maju mulai mendapatkan perhatian pemerintah, dan bantuan modal serta peralatan sudah didapatkan.

Semua berawal dari kepulangan kakak perempuannya dari luar negeri pada tahun 2013. Kepulangan kakaknya itu sudah menutup ruang untuk kembali bekerja lagi di luar negeri—kakaknya mendapatkan kecelakaan saat bekerja, tangan kakaknya patah akibat jatuh dari mobil. Dari skill yang dia dapatkan di luar negeri, kakaknya kemudian mengajaknya untuk memulai usaha tempe.

Dengan modal dan peralatan seadanya, mereka mulai memproduksi tempe. “Awalnya kami produksi lima kilo, tidak ada yang membeli. Mungkin karena masih baru. Besoknya kami produksi lagi 10 kilo, dan laku semua,” tutur Susianti.Tempe yang mereka produksi dijual di pasar Santong dan Tampas, pasar yang ada di desa mereka. Perlahan-lahan, ketika usaha mereka mulai dikenal, “akhirnya sekarang kami mampu memproduksi 80 kilo perhari. Dipasarkan ke Santong dan Tampas, sampai ke luar kecamatan, sampai Bayan,” ucap Susianti.

Tiga tahun sudah usaha mereka berjalan. Mulai dari pengalaman dagangan yang tidak laku, kemudian mulai dikenal luas, sampai dilirik oleh pemerintah sehingga mereka bisa mengakses modal dan peralatan.” Sejak bantuan modal didapatkan, kami bisa beli dandang besar untuk mengukus dan membeli kedelai. Kedelai dapat langsung dari gudang di Cakra, di Mataram,” jelas Susianti.

Usaha yang semakin membesar ini membuat mereka memaksimalkan produksi. Tak tanggung-tanggung, sekali mereka memesan atau membeli  bahan baku kedelai bisa sampai satu ton, seharga 13 juta. “Kami angkut pakai engkel,” kata Susianti.

bahan baku kedelai untuk pembuatan tempe

Mereka sudah mendapatkan bantuan peralatan dari Dinas Sosial, meski demikian, mereka juga tetap membeli peralatan lain sebagai pelengkap. “Peralatan dari bantuan yang kami dapatkan adalah dandang pengukus, dan kompor tungku besar,” jelas Susianti. Hanya saja, sekarang kelompok ini tak pakai kompor lagi, “karena gas elpiji, isinya sedikit, rugi kita. Makanya kami beli kayu dari warga. Lebih ekonomis. Cepat matang tempenya,” terangnya. Mereka juga mendapatkan bantuan mesin heler dari dinas perindsutrian, bantuan itu datang pada tahun 2014 awal.

Awal memproduksi tempe, Susianti dan kakaknya menggunakan modal sendiri. Baru pada akhir 2014 mereka mendapatkan bantuan modal. “Kami bikin proposal. Disuruh buat kelompok. Saat itu juga buat nama kelompok,” tutur Susianti. Kelompok Beriuk Maju ini mempunyai anggota  10 orang. Kadang ada yang berganti, misalnya tiba-tiba ada anggota yang berangkat ke luar negeri, terpaksa diganti dengan yang baru.

Sampai saat ini usaha kelompok masih tetap akan fokus pada tempe. Mereka belum terpikir untuk mengembangkan usaha dengan meproduksi produk lain, seperti tahu, misalnya. “Untuk sementara masih fokus pada tempe, belum berniat membuat tahu meski bahannya sama. Karena proses pembuatantahu itu berat, tidak ada berhentinya. Apalagi di Santong dari hari ke hari ada saja pelanggan baru. Kami belum terpikir untuk jual sampai ke Mataram, karena dari Mataram saja ada masuk tempe setiap hari Sabtu ke pasar Santong,” jelas Susianti.

Produk tempe yang dikelola kelompok harganya Rp 2000 perbiji.“Kalau tujuh biji kami kasih 10.000. Sehari diedarkan 700 biji sampai laku satu juta,” kata Susianti.

Kelompok tidak terlalu memikirkan soal tempat produksi. Tempat yang digunakan sekarang untuk mengolah tempe dianggap sudah memadai. Mereka tidak pernah ganti tempat, tempat yang dulu terus dikembangkan dan dibangun. ”Ini kami bangun dari tabungan keuntungan. Kelompok pernah dapat bantuan dari Dinas Sosial tahun 2015. Selain itu, hanya bantuan alat dari dinas perindustrian, pemecah kedelai,” jelas Susianti.

Nyaris tak ada yang terlalu dikeluhkan oleh kelompok. Mereka hanya mengeluhkan musim tertentu, seperti musim hujan. “Ini kendalan kami, kalau musim hujan, produksi kurang. Musim hujan, pelanggan jarang yang ada keluar. Jadi biasanya produksi kami sampai rusak. Kami kurangi produksi. Kalau tidak laku sampai tiga hari, tempe itu rusak,” kata Susianti.

Anggota kelompok, menurut Susianti, cukup ulet dan berketerampilah. Anggota kelompok saling berbagi tugas dalam rantai produksi—mengumpulkan bahan, mengolah, dan memasarkan. Distribusi produk tempe juga mengandalkan semua anggota kelompok. Kebetulan masing-masing anggota kelompok berdagang, baik di di pasar atau berkeliling.

Mereka tetap membutuhkan pelatihan untuk anggota kelompok, untuk mengembangkan potensi dan kemampuan mereka. Memang pernah ada pelatihan yang melibatkan kelompok, seperti pelatihan membuat makanan, membuat tempe, dan lain-lain. Tapi biasanya hanya ketua kelompok yang mengikuti.

Susianti mengaku, kelemahan kelompok ada pada pencatatan penjualan. “Kelemahan kami di sini, kadang hasil penjualan itu dicatat, kadang juga tidak. Anggota belum begitu menguasai,” terang Susianti.

 

 

 

Previous post

TARIAN PARA TELANG KEMBULAN

Next post

Jasa Lingkungan,  Partisipasi Publik Menjaga Lingkungan (2)

Mayung

Mayung

No Comment

Leave a reply