Inspirasi dari Sanggar Belajar Alam Daur
Saya tidak percaya bahwa rendahnya tingkat literasi di NTB karena anak-anak NTB malas membaca, malas belajar. Ungkapan ini sering kita dengar : sekarang orang malas membaca (buku).
Beberapa kegiatan literasi yang digerakkan para anak muda menunjukkan hal sebaliknya. Anak-anak di kampung begitu antusias dalam kegiatan literasi. Mereka bisa bertahan seharian ikut kegiatan. Bahkan di hari libur pun mereka mau datang ke sanggar belajar.
Alam Daur Institute ini adalah rumah belajar bagi anak-anak di Dusun Sinte, Desa Batujai, Kabupaten Lombok Tengah. Kampung yang jalannya tak beraspal ini tidak terlalu jauh dari kota Praya, tidak terlalu jauh dari perpustakaan daerah. Tapi mungkin di antara mereka belum pernah datang berkunjung ke perpustakaan. Nama mereka tak tercatat sebagai pengunjung. Nama mereka tak berkontribusi sebagai data penambah “tingkat literasi” di kabupaten.
Mungkin mobil perpustakaan keliling juga tidak cukup banyak dan tidak cukup waktu untuk keliling ke semua kampung. Belum lagi biaya bensin yang tentu tak sedikit. Jadi tingkat kesukaan membaca itu janganlah hanya diukur dari berapa jumlah orang membubuhkan tanda tangan di buku kunjungan perpustakaan daerah.
Saya selalu senang melihat kegiatan-kegiatan literasi yang digagas anak muda. Minggu (28/9) saya ikut nimbrung dalam kegiatan yang digagas para mahasiswa bahasa dan satra Indonesia (Bastrindo) Universitas Mataram. Belum lama ini mahasiswa Unram di bully karena mereka menyuarakan aspirasi ke kampus. Meminta perbaikan fasilitas, di tengah gelombang unjuk rasa #reformasidikorupsi. Tapi belakangan mahasiswa Unram membuktikan jumlah mereka nyang paling banyak ketika terjadi aksi besar-besaran di DPRD NTB. Di sela kegiatan di Dusun Sinte ini saya mendengar cerita mereka tentang demo itu. Mereka ikut juga merasakan tembakan gas air mata.
Tugas mahasiswa memang seperti itu. Menjadi agent of control. Hari Minggu ini, tugas mereka sebagai agent of change menemukan muara pada kegiatan di sanggar belajar ini.
Digagas Anak Kampung
Sanggar belajar ini digagas oleh para pemuda Batujai yang menempuh kuliah di Mataram bersama anak-anak muda yang pernah bersekolah hingga SMA. Yang bisa mengajar, mengajarkan adik-adik mereka : membaca, menulis, menggambar, melukis, menari, bahasa Inggris. Para relawan yang datang memberikan pelajaran apa saja. Termasuk bermain. Bagi anak-anak ini, bermain adalah belajar. Agar mereka menikmati proses belajar. Saya ikut memberikan permainan yang melatih kemampuan mengingat matematika sederhana. Hasil permainan ini lebih didominasi anak-anak perempuan.
“Tutor” tetap di rumah belajar ini adalah seorang mahasiswa bahasa dan satra Indonesia Unram dan seorang mahasiswa bahasa Inggris UIN Mataram. Sekali seminggu mereka pulang kampung. Bukan sekadar meminta jatah beras untuk kos. Mereka mengajar adik-adik mereka. Mereka juga mengajak teman-teman mereka di kampus.
Menempati sebuah rumah berdinding bedek, berbagai peralatan dan buku sumbangan dari relawan. Saya terharu ketika teman-teman mereka yang menjadi TKI di Malaysia ikut menyumbang. Menjadi TKI adalah pilihan bagi pemuda kampung yang tanah sawahnya hanya mampu diolah sekali setahun. Menjadi TKI adalah pilihan untuk menghidupi keluarga. Tapi mereka sadar bahwa pendidikan bisa mengubah nasib seseorang. Mereka tak ingin adik-adik mereka, anak-anak merdeka seperti mereka.
Itu terlihat pada semangat para inaq-inaq yang mengantar dan menunggu putra putri mereka belajar. Saya mendengar kisah inaq-inaq yang pontang panting bekerja keras agar anak mereka bisa kuliah. Sekarang anaknya itu sudah lulus dan menjadi guru. Dia bangga walaupun dia mendengar cerita dari anaknya gaji guru honorer tidaklah seberapa. Dia bangga karena anaknya memiliki pilihan lain untuk bekerja. Saat musim paceklik seperti saat ini, dia dibantu anaknya. Dia bilang kewajiban orang tua menyekolahkan anaknya. Dan kewajiban anak membantu orang tua jika sudah sukses.
******
Sanggar belajar ini mungkin sangat sederhana. Sangat kecil. Tapi ini menjadi bukti bahwa mahasiswa hari ini membuktikan diri. Mereka tak sekadar asyik dengan wacana di kampus. Mereka juga menerapkan ilmu yang didapat di kampus. Mereka merasakan semakin banyak pengabdian yang dilakukan semakin banyak sahabat yang membantu.
Bagi sahabat yang ingin membantu bisa memberikan bantuan buku bacaan atau alat alat permainan edukatif. Silahkan bisa mengontak Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unram atau langsung ke sanggar belajar ini.
No Comment