Catatan Perjalanan ke Pulau Maringkik
Secangkir teh panas menemani pagi yang indah saat matahari menampakkan sinarnya di ufuk timur. Pasir putih pulau Maringkik tampak berwana keemasan saat sinar matahari itu mulai menghangatkan bumi. Sementara itu para nelayan mulai pulang setelah melaut semalam suntuk.
*********
Tebing karang di sisi Selatan pulau Maringkik tampak keemasan oleh sinar matahari pagi. Pagi itu, Minggu (20/11/2011) saya menikmati secangkit teh panas bersama rekan-rekan aktivis Mesir Foundation, sobat wartawan Radar Lombok Adi Susanto dan Ramli, dan Safwan dari Sekretariat Program Unggulan Pemprov NTB.
Bayangan matahari tepat jatuh di tengah laut. Pukul 05.30 wita, langit masih memerah akibat pantulan sinar matahari yang perlahan keluar dari persembunyian di balik bukit. Di bagian atas langit menampakkan warna biru, bersih tanpa awan. Maringkik saat matahari terbit (sunrise) dan saat matahari tenggelam (sunset) benar-benar indah.
Saat matahari terbit, kita dapat menyaksikan para nelayan yang baru pulang meluat. Mereka menyandarkan kapalnya di sisi pulau yang berpasir putih. Pulau seluas 150 hektar ini memiliki pasir putih, pasir hitam, dan di beberapa sudut berupa tebing karang. Jika sunrise disuguhkan dengan pemandangan para nelayan yang baru pulang melaut, saat sunset keindahan bayangan warga yang berdiri di atas dermaga memberikan rasa damai. Hiruk pikuk warga di sekitar dermaga juga memberikan sensasi tersendiri dalam liburan kami ke pulau Maringkik kecamatan Keruak Lombok Timur.
Maringkik, pulau kecil yang terbentuk dari karang-karang merupakan salah satu pulau kecil (gili) yang berpenghuni di Lombok Timur. Pulau lainnya yang berpenghuni adalah gili Beleq, gili Re dan gili Sunut. Sementara gili Bembek, gili Kere, dan pulau kecil lainnya di sekitar laut selatan Lombok Timur itu tidak berpenghuni. Seluruh pulau-pulau kecil itu memiliki karakter yang mirip : berpasir putih, sebagian karang dan hampir seluruh masyarakatnya berpfosi sebagai nelayan.
Maringkik merupakan pulau terbesar diantara gugusan pulau-pulau kecil di selatan Lombok Timur itu. Luas pulau ini kurang lebih 150 hektar dengan jumlah KK 557 KK dan 1999 jiwa. Cukup padat untuk ukuran pulau yang begitu kecil. Jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya hanya berupa lorong. Tanah lapang hanya dijumpai di sekitar SD-SMP Satu Atap dan kantor PLN Ranting Maringkik.
Inilah salah satu yang unik di pulau Maringkik : setiap tahun luasnya bertambah. Kok bisa ?
Ya, masyarakat Maringkik terlalu cinta dengan pulau yang kering kerontang itu. Dengan kondisi alam yang tidak memiliki air tawar, dan padat, mereka masih tetap cinta Maringkik. Boleh saja memiliki tanah di pulau Lombok, tapi Maringkik tetap menjadi pilihan tempat tinggal utama. Profesi hampir seluruh msayarakat Maringkik sebagai nelayan membuat mereka bergantung di pulau itu.
Setiap tahun ada yang mati, lebih banyak lahir, keluar pulau untuk menikah, membawa istri untuk tinggal di Maringkik. Maringkik tiap tahun makin padat, lahan makin sempit. Masyarakat pun menyiasati kekurangan lahan itu. Bagi calon keluarga baru, jauh hari sebelumnya mereka menyiapkan lahan untuk pembangunan rumah. Caranya, mereka ‘’mereklamasi’’ pantai yang cukup landai. Perlahan-lahan mereka memasang tanggul, lalu menutup tanggul itu dengan karang, pasir, tanah atau bahkan sampah-sampah keras. Lama kelamaan tanggul itu pun membentuk sebuah daratan.
Di Maringkik ada beberapa orang yang memiliki tanah yang cukup luas. Tapi semacam aturan tidak tertulis, tidak ada warga yang menjual tanah. Kalau pun menjual, hanya keluarga dekat. Selain itu orang luar Maringkik perlu berpikir seribu kali untuk tinggal di pulau tersebut.
‘’Dulu kakek saya punya tanah luas. Sudah dibagi-bagi sama keluarga. Sekitar ini keluarga saya semua,’’ kata inaq Sahuni seraya menunjuk ke beberapa rumah di sekitar rumahnya.
Pulau Maringkik terlalu kecil untuk warga yang menduduknya hampir 2.000 jiwa itu. Apalagi tiap tahunnya banyak bayi-bayi baru yang lahir. Penduduk Maringkik terus bertambah. Lahan makin sempit.
‘’Kami senang disini. Tidak ada keinginan untuk tinggal di pulau Lombok,’’ kata wanita yang nenek moyangnya dari Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.
Pulau kecil yang berada di selatan Lombok Timur ini memang masih menyimpan banyak misteri, terutama tentang orang-orang yang tinggal di dalamnya. Penelitian intensif penting dilakukan untuk merekam jejak orang-orang Maringkik itu.
Maringkik dihuni oleh warga yang berasal dari berbagai latar belakang suku. Ada suku Bugis, dari Ende NTT, Mbojo, Sasak, dan terbesar suku Bajo. Mereka melebur menjadi satu : menjadi orang Maringkik.
Percampuran budaya dari berbagai suku itulah yang membuat Maringkik memiliki bahasa khusus. Bukan ‘’murni’’ bahasa Sasak, bukan Bajo, bukan Bugis, bukan Mbojo, bukan Flores. Bahasannya seperti campur aduk. Namun secara umum warga Maringkik bisa berbahasa Sasak. Dalam beberapa suku kata bahasa Maringkik memang kuat pengaruh dari suku Bugis dan Bajo. Tapi tidak banyak warga Maringkik yang masih bisa berbasa nenek moyang mereka itu. Beda misalnya dengan warga Tanjung Luar yang masih lancar berbahasa nenek moyang mereka.
‘’Saya sudah tidak kenal keluarga di Ende. Dulu pernah sih datang tapi rasanya kita jauh sekali,’’ kata Sahuni.
Orang Maringkik memang seperti ‘’kehilangan konta’’ dengan kerabat mereka di seberang. Yang berasal dari Ende sudah kehilangan kontak. Seperti Sahuni misalnya. Dia pernah komunikasi dengan keluarganya di Ende. Saat itu ada urusan pembagian tanah warisan. Bagaimana pun juga kakenya masih berhak atas tanah warisan di Ende.
‘’Saya minta dijual saja supaya tidak repot,’’ katanya.
Belum ada catatan yang saya temukan terkait keberadaan orang-orang Maringkik. Kapan suku-suku pelaut itu tiba di pulau kecil ini. Siapa saja yang kali pertama datang. Yang pasti tujuan utama mereka pasti lah datang melaut. Bisa jadi pulau Maringkik dulunya pulau persinggahan nelayan-nelayan tangguh itu ketika mencari ikan. Ikan-ikan itu dibawa ke Tanjung Luar dan Labuhan Lombok. Masyarakat yang tinggal di Tanjung Luar dan Labuhan Lombok memang orang-orang dari suku yang terkenal sebagai pelaut itu.
‘’Kami tidak tahu bagaimana nenek moyang kami datang kesini dulu. Sejak kakek saya tinggal di sini,’’ kata Hajar menuturkan asal usulnya.
Wanita yang berusia lanjut dengan 8 cucu dan 2 cicit itu tidak tahu sejarah kedatangan nenek moyang mereka ke Maringkik. Dia hanya tahu kakek dan neneknya berasal dari Ende yang datang ke Maringkik untuk tinggal.
‘’Kami keluarga nelayan semua,’’ katanya.
Tidak semua penduduk Maringkik pergi melaut, tapi profesi mereka pasti ada kaitannya dengan laut. Yang memiliki kapal dan pergi melaut memang disebut nelayan. Tapi warga lainnya ada yang menjadi penjual ikan, pembuat perahu, pembuat/penjual alat-alat tangkap.
‘’Hampir semua penduduk Maringkik nelayan,’’ kata H Abdurrahman, Kadus Maringkik.
Ikan-ikan yang beredar di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tanjung Luar banyak berasal dari Maringkik. Kadang ikan itu dibawa ke Pondok Perasi Ampenan, Labuhan Lombok di ujung timur Lombok Timur. Bahkan kadang-kadang perahu besar yang berlayar ke lautan lepas itu singgah di pulau-pulau lainnya di Indonesia untuk bongkar muat.
Ukuran kapal yang cukup besar yang banyak parkir di sekeliling pulau Maringkik menjadi bukti orang Maringkik merupakan pelaut ulung. Beda misalnya dengan nelayan-nelayan yang menggunakan perahu ‘’ketinting’’ yang hanya menyisir pesisir. Tidak melaut hingga ke pulau-pulau lainnya.
Pada musim tangkapan banyak, kadang hampir tidak ada pria dewasa yang tinggal di pulau Maringkik. Mereka pergi melaut hingga ke Flores, Makassar, Maluku, bahkan Papua. Tidak sedikit yang mendekat ke perairan Australia. Mencari ikan adalah profesi utama warga Maringkik. Mereka hidup di laut.
‘’Kalau ada program jembatan dari pulau Lombok pasti ibu-ibu akan demo menolak,’’ kata ibu Sahuni.
Kok bisa ?
‘’Kalau ada jembatan mudah pencuri dan perampok masuk ke sini, tidak ada laki-laki kalau musim menangkap ikan,’’ katanya diiringi para aktivis Mesir Foundation yang ikut dalam rombongan kami.
Maringkik memang aman. Tidak pernah terdengar ada kasus pencurian atau perampokan. Para pencuri yang datang berpikir 1000 kali untuk datang berbuat jahat ke Maringkik. Mereka harus melewati laut, dan orang Maringkik adalah raja di lautan.
Pulau Maringkik yang kecil dan nyaris tidak ada orang luar yang datang berkunjung membuat warga saling mengenal. Ketika ada wajah baru, mereka tahu itu adalah tamu. Mereka biasanya menanyakan dimana tamu itu menginap.
Geliat Ekonomi Maringkik
HALIDING serius memahat papan-papan kapal. Sesekali dia memperhatikan letak garis yang telah dibuat. Jangan sampai meleset. Meleset sedikit saja ukuran kapal bisa berubah. Mengganti dengan yang baru tentu sangat sulit. Papan-papan itu sudah dirangkai menjadi bagian yang utuh. Sudah mirip seperti sebuah kapal.
Haliding adalah salah seorang seniman perahu. Haliding, pria kelahiran Bima setengah abad silam bukan sekadar tukang ‘’kasar’’ yang memotong-motong kayu, menghaluskan lalu menempel-nempelnya menjadi sebuah perahu. Haliding yang tidak mempunyai pendidikan khusus membuat perahu juga memikirkan bentuk perahu, merancangnya dalam pikirannya, dan menuangkan gagasan itu dalam sebuah bentuk perahu yang utuh.
Tak ada gambar lengkap, tak ada hitung-hitungan, tak ada rencana anggaran biaya (RAB). Haliding si seniman perahu memiliki insting yang kuat untuk membuat perahu. Bukan sekadar perahu ‘’ketinting’’. Tapi perahu berukuran besar yang dibawa untuk mengarungi lautan hingga berminggu-minggu. Satu perahu yang dibuat bisa mencapai panjang 15 meter. Dia hanya dibantu beberapa orang tukang saja yang diberikan instruksi. Otak pembuatan perahu-perahu jumbo di Maringkik adalah Haliding.
Mau tahu berapa ongkos pembuatan perahu ?
Rp 15 juta. Dan itu bisa diselesaikan paling lama 3 bulan. Kalau bahan-bahan kayu pembuat perahu cepat terkumpul, bisa lebih cepat membuat perahunya. Pekerjaan yang terlihat kasar, tapi mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
‘’Dia lebih cocok disebut seniman perahu,’’ komentar Safwan, rekan dari Sekretariat Program Unggulan Pemprov NTB yang menemani saya menghabiskan malam Minggu di pulau Maringkik.
Laut luas memberikan kehidupan bagi warga Maringkik. Mereka mengandalkan hidup dari lautan. Seluruh pekerjaan warga Maringkik ada kaitan dengan laut. Seperti Haliding, dia memang bukan nelayan yang pergi mancing hingga ke lautan lepas. Tapi dialah pembuat perahu-perahu di pulau Maringkik.
Seperti seorang seniman, seluruh desain, ukuran, dan bentuk jadi perahu itu ada dalam benak Haliding. Mulai belajar perahu sejak muda dengan cara menjadi tukang pembantu. Akhirnya Haliding naik tingkat menjadi pembuat perahu, dan kini menjadi seorang ‘’maestro’’ pembuatan perahu di pulau Maringkik. perahu-perahu yang sandar di Tanjung Luar pun banyak hasil karya Haliding.
Perahu-perahu besar itu membuat geliat ekonomi masyarakat Maringkik hidup. Perahu besar itu memungkinkan mereka untuk menjelajahi lautan, mencari ikan ke laut lepas serta menjelajah nusantara.
Seperti Bambang. Pemuda Maringkik ini sudah terbiasa mencari ikan hingga ke lautan Sulawesi, Manggarai Ende NTT, dan tempat-tempat lainnya. Perjalanannya ke daerah-daerah tersebut semacam menjadi napak tilas perjalanan nenek moyangnya yang berasal dari Ende. Kakek dari orang tuanya merupakan nelayan dari Manggarai yang singgah dan menetap di Maringkik.
‘’Sudah terbiasa lama di lautan,’’ katanya.
Ikan-ikan yang dibawa pulang atau dijual di beberapa TPI merupakan ikan dengan nilai ekonomis tinggi. Setidaknya dalam sekali pulang melaut, jutaan uang bersih di kantong. Ikan memberikan dampak ekonomi yang besar.
‘’Kalau ada teman sekolah dari Maringkik, pasti mereka paling banyak uang jajannya,’’ kata Muhlis, mantan ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Jerowaru (FKMJ) mengenang masa sekolahnya.
Geliat ekonomi itu terlihat saat senja dan pagi hari. Saat senja pulau itu mulai berkurang penduduknya. Para pria dewasa pergi melaut. Jika ikan-ikan itu sedang banyak di lautan sekitar Lombok, mereka cukup mencari ikan semalam saja. Pagi hari saat matahari mulai terihat, mereka kembali ke Maringkik. Para wanita sudah bersiap untuk mengambil ikan itu. Lalu menjualnya ke pasar yang ada di Tanjung Luar dan Jerowaru.
Siang hari, dimanfaatkan warga Maringkik untuk istirahat atau menyiapkan perlengkapan melaut. Para wanita di Maringkik tidak diam begitu saja, sebagian diantara mereka mengisi waktu lowong dengan menenun. Ya, masyarakat nelayan di Maringkik ini masih melestarikan tradisi membuat kain tenun. Jarang menemukan ada masyarakat nelayan yang masih bisa menenun.
‘’Puluhan orang yang menenun,’’ kata ibu Hajar, salah seorang wanita sepuh di Maringkik.
Perempuan – perempuan Maringkik ini menenun menggunakan alat tradisional. Benang dimasukkan selembar demi selembar hingga membentuk sebuah kain dengan berbagai motif. Sebagian besar motif yang ada di Maringkik dikenal dengan sebutan Sepa’.
‘’Satu lembar harganya bisa Rp 500 ribu,’’ kata Aminah, 28 tahun, salah seorang penenun saya temui memintal benang untuk persiapan menenun.
Setelah menamatkan pendidikan MTs di Sepit kecamatan Keruak (pulau Lombok), dia kembali ke Maringkik. Meneruskan tradisi ibu, tradisi neneknya untuk menenenun. Sementara saudaranya yang lain meneruskan tradisi para pria di Maringkik : melaut.
Tenun-tenunan itu dikerjakan di bawah kolong rumah panggung. Para perempuan ini mengerjakannya mulai siang hari. Kadang sampai malam hari. Di saat suami mereka pergi melaut berhari-hari, mereka lebih banyak waktu untuk menyelesaikan tenunan itu.
‘’Paling lama selesai 15 hari,’’ katanya.
Tradisi menenun di masyarakat Maringkik terus lestari, diturunkan secara turun temurun. Masyarakat pesisir yang ada di Lombok Timur, mungkin hanya Maringkik yang masih kuat tradisi menenunnya.
Kain tenun itu bukan sekadar pengisi waktu luang. Saat krisis hasil tangkapan laut, kain tenun itu menjadi penyelamat asap dapur. Kain tenun yang disimpan dalam kotak, dikeluarkan untuk dijual. Ketika tidak ada modal untuk melaut, kain tenun di jual. Harganya yang cukup mahal memungkinkan untuk menutupi modal melaut.
‘’Kami kirim ke Sumbawa hingga Jakarta,’’ kata Rosita, penenun lainnya.
Para pembeli biasanya datang ke Maringkik, atau warga Maringkik yang keluar membeli. Mereka punya pelanggan tetap. Komunikasi juga kadang dilakukan ketika para suami mereka melaut. Bertemu dengan pelaut lainnya, lalu mempromosikan kain tenun itu. Pengiriman kain tenun pesanan itu pun sudah pasti melalui laut.
Geliat ekonomi utama memang dari perikanan, tapi kain tenun tidak bisa diremehkan. Seperti sebuah tabungan yang digunakan saat krisis.
Air Bersih Jadi Masalah
‘’Awas jangan berdiri. Jangan terlalu kanan. Jangan goyang’’. Begitulah perintah pemilik perahu pada kami para penumpang yang berangkat dari salah satu dermaga di Telong-Elong desa Jerowaru kecamatan Jerowaru. Di Telong-Elong sendiri ada beberapa dermaga kecil yang menjadi persandaran perahu dari pulau-pulau kecil sekitar wilayah selatan Lombok Timur. Sementara dermaga besar proyek Pemprov NTB yang dibangun tahun 2008, di tahun-tahun politik itu, hingga kini belum rampung. Dermaga yang menelan dana miliaran rupiah itu tidak jelas pemanfaatannya. Kini hanya sekadar menjadi tempak kongkow anak-anak muda. Ketika dermaga ini kelak jadi, belum jelas juga untuk apa pemanfaatannya.
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi diskusi kecil kami selama di atas perahu. Ada aktivis Mesir Foudation, Sekretariat Program Unggulan Pemprov NTB, Forum Komunikasi Mahasiswa Jerowaru. Di sekitar kawasan selatan itu ada beberapa pulau kecil. Yang berpenghuni adalah gili Beleq, gili Re yang ditempuh hanya 10 menit dari Telong-Elong. Selanjutnya gili Maringkik yang ditempuh 20 menit. Sementara gili Sunut lokasinya lumayan jauh.
Di sekitar gili-gili itu banyak dipasang Keramba Jaring Apung (KJA) milik nelayan. Ada sekitar 30 an keramba. Selain itu ada juga bagang (rumpon) yang bentuknya mirip seperti sebuah kilang pengeboran minyak di lautan lepas.
Jika dermaga Telong-Elong itu jadi kelak, bagaimana nasib bagang dan rumpon milik masyarakat. Ketika ada kapal yang berbobot besar lewat, tentu keramba dan rumpon itu bisa rusak. Belum lagi kondisi perairan di sekitar gili itu yang kerap surut hingga beberapa belas meter ke tengah lautan. Saat kami melakukan perjalanan ke Maringkik, di beberapa titik di kawasan itu terlihat pasir putih yang menyembul. Laut sedang surut.
‘’Kami tidak pernah tahu untuk apa dermaga itu. Dulu sih katanya untuk dermaga Newmont,’’ kata Muhlis, pemuda dari Jerowaru yang rumahnya tak terlalu jauh dari dermaga itu.
Lombok Timur memang rajin membangun dermaga. Setidaknya ada tiga dermaga besar yang dibangun dan sampai sekarang belum jelas fungsinya. Dana yang dikeluarkan tidak sesuai dengan manfaat secara ekonomi. Dermaga Labuhan Haji, Dermaga di Tanjung Luar dan Dermaga Telong-Elong.
Beda halnya dengan dermaga-dermaga di pulau kecil, seperti Maringkik. Keberadaan dermaga itu sangat membantu aktivitas masyarakat. Ketika sandar atau naik perahu, penumpang harus turun di laut. Perahu tidak bisa sandar di pinggir pulau yang berkarang. Beruntung ketika turun itu air surut, ketika ada pasang, bisa-bisa perahu terbentuk karang pulau Maringkik.
‘’Kalau ada orang yang mengatakan menolak dermaga Maringkik, maka itu bukan orang Maringkik. dermaga ini sangat membantu kami,’’ kata Kadus Maringkik H Abdurrahman. Beberapa waktu lalu memang sempat beradar informasi sekelompok masyarakat menolak pembangunan lanjutan dermaga itu.
Dermaga yang dibangun saat ini merupakan bekas dermaga yang pernah dibangun tahun 2000 silam. Sayangnya dermaga itu rusak akibat kurang kuat dan hantaman gelombang. Sisa-sisa tiang dermaga itu masih bertahan sampai sekarang.
‘’Kami melanjutkan yang sudah ada,’’ kata Opan, pelaksana proyek pembangunan dermaga.
Ada harapan besar jika proyek dermaga itu rampung, masyarakat Maringkik lebih mudah menyandarkan perahunya. Kiini di sisi Selatan dan Utara ada dermaga.
***********
Para nelayan mulai terlihat sibuk ketika matahari tenggelam di ufuk barat. Warna lembayung senja memberikan keindahan pantai Maringkik. perahu-perahu nelayan sudah siap untuk berangkat melaut.
Sementara di pulau tanda-tanda kehidupan mulai terlihat. Lampu listrik akhirnya menyala. Inilah yang menjadi salah satu keunikan pulau Maringkik. Listrik hanya menyala pada malam hari. Mulai menyala pukul 18.00 wita (jam 6 sore) hingga pukul 06.00 wita. Selama siang hari listrik dipadamkan.
Ini bukan pemadaman bergilir lantaran kekurangan daya atau atau kerusakan. Tapi pemadaman siang hari itu untuk menghemat energi. Masyarakat Maringkik lebih membutuhkan listrik pada malam hari. Siang hari mereka masih di laut atau sibuk menjajakan hasil tangkapannya ke pulau Lombok. Toh tidak ada kebutuhan terlalu besar tehadap listrik pada siang hari.
Pembangkit listrik di Maringkik berada di sudut pulau, di sebuah tanah yang cukup tinggi. Di dekat kantor PLN Maringkik itu berdiri bangunan SD-SMP Satu Atap. Di bawanya sebuah lapangan yang cukup luas bagi anak-anak Maringkik main bola.
Fasilitas publik di Maringkik sudah tersedia. Ada listrik, ada sekolah walau baru tingkat SD dan SMP. Untuk SMA mereka harus menyeberang ke pulau Lombok. Puskesmas Pembantu yang cukup bagus kondisinya. Masjid yang cukup mewah untuk ukuran sebuah pulau yang kecil. Seluruh kebutuhan dasar itu sudah cukup terpenuhi, kecuali satu hal : air tawar.
Tidak ada setetes pun air tawar di tanah pulau Maringkik. Sumur yang digali terlalu asin airnya. Tidak bisa dijadikan air minum atau kebutuhan memasak. Sementara jaringan air bersih dari pulau Lombok ke Maringkik tidak pernah berfungsi dengan baik.
Dulu pernah dibangun pipa bawah laut dari pulau Lombok ke Maringkik. Tapi tidak jelas nasib proyek itu. Pernah mengalir sebentar, lalu setelah itu lenyap sama sekali. Masyarakat Maringkik mengandalkan air bersih dari hujan. Saat tidak musim hujan masyarakat harus membeli air tawar dari daratan pulau Lombok.
Saat air pasang, warga Maringkik berangkat ke Telong-Elong. Ya, harus dilakukan saat pasang. Saat air surut, selang yang dialirkan warga Telong-Elong tidak mampu menjangkau perahu. Satu persatu warga Maringkik mengisi jeriken dengan air bersih dari Telong-Elong. Mereka membawa belasan jeriken. Perahu mereka penuh dengan jeriken.
Untuk 1 jeriken air (30 liter) masyarakat Maringkik membayar Rp 1.000 pada pemilik selang itu. Lebih murah jika dibandingkan warga daerah Selatan di sekitar Sekaroh, Pemongkong, Serewe, Ekas, Batunampar yang kadang harus membeli Rp 2.5000 per jeriken.
Beruntung bagi masyarakat Maringkik yang punya perahu sendiri. Mereka tidak perlu keluar uang untuk berangkat mengambil air. Namun ada juga warga yang tidak memiliki perahu, mereka itu umumnya pedagang. Mereka harus menyewa Rp 50.000 untuk satu perahu Ketinting.
‘’Kalau bisa pemerintah bisa mengalirkan air kesini,’’ kata Inaq Sahuni.
Akibat air tawar yang langka ini, masyarakat Maringkik jarang mandi dengan air tawar. Mereka hanya ‘’berani’’ mandi air tawar jika musim hujan. Di musim kemarau mereka mandi air laut. Saat pagi dan sore, banyak terlihat anak-anak dan orang tua yang mandi di laut.
Bukan lantaran air itu terlalu mahal, tapi untuk mencari air itulah yang susah. Sebenarnya dengan 1 jeriken yang harganya Rp 1.000 bisa digunakan untuk mandi. Tapi perjuangan untuk mengambil air ke Telong-Elong serta membawanya ke rumah lah yang cukup berat. Cukup lah mandi air tawar saat musim hujan.
‘’Sudah terbiasa kami mandi air laut saja,’’ katanya.
Bagi tamu yang berkunjung ke Maringkik harus faham dengan ‘’tradisi’’ ini. Itulah sebebanya, selama dua hari kami di Maringkik harus puasa untuk mandi.
Soal MCK juga jadi masalah di Maringkik. Dengan kepadatang yang cukup tinggi tidak memungkinkan warga membangun WC. Akhirnya jadilah pesisir Maringkik menjadi WC terpanjang di dunia. Mesti berhati-hati ketika jalan-jalan di pantai Maringkik banyak ‘’jebakan kuning’’.
‘’Saya saja harus membiasakan diri ikut buang air besar di laut,’’ kata Opan, kontraktor yang mengerjakan proyek dermaga. Pria yang berasal dari Mataram ini mengaku sudah mulai menyesuaikan diri dengan tradisi buang air besar di laut.
‘’Awalnya risih juga,’’ katanya.
Desas desusnya di Maringkik akan dibangun penyulingan air laut menjadi air tawar. Seperti pada proyek di Ekas dan Serewe tahun 2009 silam. Alat itu menyuling air laut menjadi air tawar yang langsung bisa diminum.
‘’Ini harapan kami untuk mengatasi krisis air bersih,’’ kata H Abdurrahman, Kadus Maringkik.
Persoalan air bersih ini bukan hanya milik Maringkik, tapi seluruh pulau kecil di Lombok. Kawasan gili Trawangan, Meno dan Air di Lombok Utara yang menjadi ikon pariwisata NTB pun mengalami kendala air bersih. Seperti sapi perah, PAD besar disetor dari pula itu. Sayangnya pemerintah belum bisa menyediakan fasilitas air bersih.Di Lombok Timur bagian selatan, empat gili yang berpenghuni yaitu Maringkik, Beleq, Re dan Sunut tidak memiliki air bersih. Masyarakat harus mengambil air bersih dari pulau Lombok.
Perhatian pemerintah pada gili-gili ini memang masih minim. Air bersih masih menjadi barang mahal bagi warga. Biaya investasi untuk mengalirkan air bersih memang cukup mahal. Sementara penduduk yang tinggal di gili tersebut tidak terlalu banyak. Namun, jika pemerintah benar-benar serius memikirkan nasib rakyatnya tentu bisa mencarikan solusi terbaik. Contoh kecilnya saja : menyediakan bak penampungan air di Telong-Elong yang bisa diambil gratis oleh masyarakat gili itu. (*)
Keterangan
Catatan perjalanan ini pada tahun 2011. Dua tahun sebelumnya saya melakukan perjalanan ke Pulau Maringki, tapi sayang catatan dan foto-fotonya hilang bersama laptop yang rusak.
No Comment